Assalamu'alaykum, selamat datang di blog sederhana saya, selamat membaca! silahkan berkomentar & tinggalkan link anda untuk di kunjungi, terima kasih

Friday, 20 June 2008

Nyanyian Rindu Dari Ibu (Bagian 1)


Dari seberang sungai ini aku bisa melihat dengan jelas nenek Aminah bersimbah peluh memotong kayu dengan parang tumpul yang ia miliki, terik mentari di atas sana terhalang oleh pohon rambutan yang rimbun di pekarangan beliau, angin kecil kadang bertiup sepoi, sedikit membelai wajah keriputnya, aku tau pasti ini pekerjaan rutinnya, ke empat anaknya telah meninggalkanya sendiri di rumah peninggalan suaminya, aku bisa merasakan kesepian itu, rasa sepi yang di rasakan oleh wanita tua renta beranak banyak namun sendirian.

Aku masih berdiri, tak berniat mendekati apalagi membantu kesibukanya, aku hanya menatap prihatin, sebagai manusia yang Allah karuniai satu hati aku yakin di dada ini tersembunyi bait-bait do’a untuk beliau, tapi aku juga menyadari ada sesuatu yang membuat aku tak beranjak mendekatinya, atau hal yang membuat anak-anak nenek Aminah menjauhinya, aku merasa ada ketakutan yang membuatku bergeming di sebrang sungai ini, sesekali nenek Aminah memandangku, namun aku memalingkan wajah, agar nenek Aminah tak merasa di perhatikan olehku,aku menuju jembatan kecil penghubung tanggul belakang rumah nenek Aminah dan belakang rumah orang tuaku, ya… rumah nenek aminah tepat di belakang rumah ku namun berjarak satu hektar tanah, di batasi dengan kebun belakang rumah kami yang berisi ubi kayu, ubi jalar, dan tanaman-tanaman lainya, juga di batasi oleh sungai kecil . Kini aku memandang riak-riak air sungai yang mengalir agak deras kearah selatan, itu artinya air sungai akan surut, bayanganku kembali kemasa silam, masa di mana aku masih tinggal bersama kedua orang tua ku dan saudara-saudaraku yang lainya, masa di mana aku bisa melihat nenek Aminah dengan aktifitas nya sehari-hari, dimana aku sering mendengar teriakan-teriakan dan di akhiri tangisan di rumah nya.
***

“Nadyaaaaaaaaa” teriakan nya cempreng namun bagiku bagai petir, aku tak menyadari ternyata sang empunya buah rambutan yang sedang ku panjat ini ada di rumah, padahal setengah jam yang lalu aku melihatnya meninggalkan halaman rumah menuju sawah, aku tidak tau pasti bagaimana menggambarkan kondisi ku, wajahku pucat, keringat dingin mengalir, hampir saja aku terjatuh saat turun dari pohon berbuah lebat itu saat aku mengambil start langkah seribu, aku tak berani lagi memandang wajah nenek aminah, aku segera berlari, dengan ketakutan yang kubawa menuju rumahku, bukan takut di kejar , karena nenek aminah tak khan sanggup berlari lagi, tapi pasti ibuku akan marah-marah padaku, mengulangi kata-kata kemarin “kamu itu lo nduk wes gede , jangan buat malu keluargamu dengan mencuri rambutan orang terus” dan cubitan-cubitan kecil dari ibuku pasti juga menyisakan bekas yang membiru di pahaku.

Tapi aku tidak kapok alias trauma, aku masih saja mengulangi dan mengulanginya lagi, aku tau guru ngajiku juga bilang kalo mencuri itu dosa, tapi rambutan di pekarangan rumah nenek aminah lebih menggoda, bisa di bayangkan setiap kali aku melawati rumahnya, pemandangan puluhan pohon yang berbuah lebat akan membuat aku menelan air liur berkali-kali dan akhirnya setan itu lagi membuatku berani melawan ketakutan yang terus menghantuiku, lagipula, orang pelit begitu sebutanku untuk beliau , tidak bisa di biarkan terus pelit, setidaknya aku harus ikut menikmati buah-buahan itu tanpa membeli .

Satu lagi yang tidak ku lupakan sampai sekarang, selain membuatku makin tidak suka melihat nenek aminah, juga kadang membuatku tersenyum sendiri karena itu kenangan masa lalu ku di kampung kelahiranku. Aku akhirnya mendapat tugas menggantikan mas Iwan menggembala kambingnya sore itu , karena mas Iwan ada kesibukan yang tidak bisa di tinggalkan, aku juga tidak bisa menolak , ketika ibu juga menegaskan bahwa aku harus membantu mas Iwan, Ibu juga tidak perduli aku perempuan, toh manjat pohon rambutan orang saja aku juga tidak perduli pada ke perempuanan ku , begitu kata beliau. Dan akhirnya dengan agak malas aku membawa delapan kambing mas Iwan ke sawah , tapi tanpa ku sangka, ketika melewati pekarangan rumah nenek aminah, tiba-tiba sebagian kambing itu berlari kearah pohon singkong yang baru tumbuh dan mengobrak abrik dengan memakan daun-daunya , sontak saja, nenek aminah naik pitam, dan berteriak-teriak, tapi yang lebih ngeri nenek aminah membawa clurit, karena memang beliau sedang membersihkan halaman rumah, yang rumputnya telah meninggi. Wajahku pucat, merasa akan mempunyai hidup terakhir saat itu “membayangkan akan di bunuh nenek aminah dengan clurit nya , tanpa pikir panjang lagi aku berteriak lebih keras minta tolong sambil menangis, dari jauh aku melihat mas Iwan berlari ke arahku, ia meminta maaf pada nenek Aminah dan di sambut dengan omelan tak sedap “punya kambing di urus jangan di biarkan, memangnya gampang punya tanaman, singkong baru tumbuh sudah di obrak abrik, sana bawa adek mu pergi! Omel nenek aminah ketus, mas Iwan hanya menjawab dengan anggukan kepala dan meminta maaf berkali-kali, “makanya jangan ngelamun , gitu jadinya” ujar mas Iwan, “siapa yang ngelamun, orang memang kambing itu bandel-bandel” sangkalku masih dengan sisa-sia isakan tangis, “lho buktinya kalo mas yang bawa mereka ga mampir ke rumah nenek aminah?” aku memandang mas Iwan “khan mas cowok jadi bisa mengendalikan mereka, jadi wajar donk kalo Nadya ga bisa , khan Nadya cewek” terdengar tawa mas Iwan “kalo gini aja inget jadi cewek , kalo manjat pohon rambutan nenek aminah, lupa segala-galanya”Aku diam merengut “mas Iwan jeleeeeeeeeeeek” jawabku dalah hati***

“Astaqfirullahaladzim” ujarku ketika menyadari sosok yang sedang ada dalam memory masa laluku telah berdiri di sampingku, mengamatiku dengan seksama, ya nenek aminah menyapaku , masih membawa parang tumpul yang di pakainya untuk memotong kayu tadi “kamu siapa to nduk?” terdengar suara nenek aminah, kekagetanku bertambah nenek aminah tidak mengenaliku apa beliau terkena penyakit alzeimer , aku berusaha mengendalikan perasaanku, memang banyak orang yang bilang perawakanku berubah dan sangat berbeda dari 4 tahun yang lalu “nenek..” aku menyalami nenek aminah dan mencium tangan nya , meski bau hangus bekas-bekas kayu yang terbakar yang baru saja beliau potong-potong masih melekat di tangan nya, “ini Nadya.. nenek masih ingat?” lanjutku setelah nenek menarik tanganya, “Nadya sopo nduk?” ah ternyata nenek aminah masih belum mengenaliku, aku tidak mungkin menjelaskan kalo aku adalah anak yang sering maling rambutan nya, atau anak yang selalu bermusuhan dengan beliau, bisa-bisa parang tumpul yang sedang di pegangnya melayang ke jidatku, kalau ternyata nenek aminah masih menyimpan dendam, “itu nek , anak bu Lastri, rumah Nadya itu” jawabku dengan menunjuk rumah orang tuaku , “oalah kamu nduk, anak e Lastri? Yang sering maling rambutan itu ya?” pipiku memerah nenek masih ingat padaku dan kebiasaan buruk ku, “iya nek maafin Nadya yach” jawabku menutupi rasa malu.

Nenek aminah hanya menyunggingkan senyum dan Subhanallah, aku kaget, sejak dulu aku tak pernah menemukan senyuman di bibir nenek aminah, meski senyumanya kini tak membuatnya lebih jelita, namun bagiku sangat berarti, karena aku tau akhirnya nenek aminah membuka pintu persahabatan untuk ku . “memang nenek tidak suka kebiasaan buruk mu, tapi semua juga karena nenek terlalu pelit padamu” jawabnya membuatku tersenyum “ nenek, apapun alasanya Nadya salah, karena Nadya tidak punya hak melakukan tindakan buruk itu, maafin Nadya” jawabku, tiba-tiba raut wajah nenek Aminah berubah sendu “ah aku mebuatnya sedih, kenapa?” bisiku dalam hati “seandainya, anak-anak nenek juga mau memaafkan nenek, membawa cucu-cucu nenek kerumah renta itu, pasti itu akan membuat nenek sangat bahagia” Aku memandang lekat wajah nenek Aminah , mendengarkan setiap kalimat yang meluncur dengan pelan namun penuh beban dan luka, wajahnya yang keriput dengan usia yang sudah tidak muda lagi, masih harus menyimpan rasa bersalah terhadap anak-anak nya yang tidak pernah kembali padanya sejak melangkahkan kaki meninggalkan rumah, aku bisa melihat air mata itu mengalir di pipinya “Ya Allah, cobaan berat apa yang tengah Engkau berikan pada nenek di hadapan hamba ini” hatiku bertanya, “nenek akan tenang menghadap Allah jika anak-anak nenek mau memaafkan nenek” lagi-lagi suara pilu itu mengalir, ada yang hangat turut mengalir di sudut mataku , aku benar-benar merasakanya..

Terdengar suara azan dari masjid Al Hikmah, nenek aminah mengusap air matanya sambil ber istiqfar, “sudah azan ashar, nenek pulang dulu, assalamu’alaikum” nenek mengucap salam sambil beranjak, aku kembali terpana, nenek Aminah berubah, semuanya berubah, ternyata rasa sepi kehilangan para buah hatinya membuatnya menjadi sangat dewasa, dalam hati aku terus memuji kebesaran Allah , aku telah menemukan jawabanya, bahwa Allah memberikan ujian itu karena ingin perubahan ini “Wa’alaikumsalam warrahmatullah” jawabku ketika nenek aminah telah jauh meninggalkanku yang masih tercenung, dan takjub akan kebesaran Nya ini. ***


Aku terbangun ketika ada sms masuk ke HP ku “Nadya, kapan balik non, jangan lupa oleh2 na yeee, muach” aku tersenyum membacanya dari best friend ku Silla di Batam “muach juga, oleh2 na ciuman sekarung hehehe” sambil menunggu sms Silla aku beranjak kedapur, ada aroma nasi goreng sedap dari sana, aku lihat ibuku sibuk menyiapkan sarapan untuk kami, “enak nich, bu’ Fira dah bangun lum” tanyaku mengganggu kesibukan ibu “belum, bangunin sana, punya anak gadis dua masih saja sibuk di dapur” omel ibu , aku nyengir “ya dech sini Nadya bantu” sebelum aku beranjak terdengar hp ku bunyi dari dalam kamar, “bentar ya” aku berlari meninggalkan ibu yang cuma geleng-geleng , sms Silla “ ye lu non, emang gw ce paan? Pokoknya harus ada oleh-oleh, yach minimal empek-empek lah” dasar tukang makan satu ini “ halah, tenang aja gw bawain empek-empek kapal titanic, biar lu puas” balasku lagi. Aku kembali ke dapur
“bu’ hari ni Nadya maw ke hum na mas Iwan yach” tanyaku pada ibuku yang masih asyik dengan aktifitasnya
“ ya, suruh Fira antar nanti” jawab ibu
“emang Fira ga skul ya?” ,
“hari ini khan hari minggu”
“oh iya”gumamku.
“kemarin ibu liat kamu ngobrol dengan nenek Aminah” tanya ibu dengan mimik serius
“iya, kasihan nenek aminah bu, kehilangan anak-anaknya” jawabku kembali ingat kepedihan nenek aminah,
“nenek cerita apa? Menjelek-jelekan anak-anak nya ya” aku memandang wajah ibu yang juga memandangku
“kok ibu bilang gitu, memangnya nenek aminah kenapa?” tanyaku balik
Ibu menghela nafas sebelum akhirnya menceritakan semua tentang kisah di rumah tua itu, dari perlakuan nenek Aminah kepada tiga menantu perempuanya, sampai akhirnya mereka satu persatu meminta suami masing-masing untuk membawa mereka pergi jauh meninggalkan rumah, nenek aminah adalah sosok mertua yang kurang bisa menempatkan diri, masih selalu ingin menguasai keluarga, padahal menantu-menantunya bisa di bilang sangat penurut, sampai akhirnya mereka memutuskan memberontak, perlakuan nenek terhdap menantu pria nya juga tak jauh beda, bahkan mbak Asti, satu-satu nya anak perempuan nenek aminah terakhir meninggalkan rumah karena di usir, ini juga karena kesalahan kecil suaminya, Semenjak mereka pergi mereka memang tidak pernah sekalipun mengunjungi nenek Aminah, hingga rasa sepi itu menyerang beliau, tapi tak jarang mereka mengirimkan uang, yang selalu di alamatkan ke rumah kami, kecuali mbak Asti dan suaminya yang memang tak pernah memberi kabar sekalipun. Tak ada yang tau kenapa. Mungkin karena rasa sakit hati yang mbak Asti dan suaminya rasakan masih belum bisa di sembuhkan. “Wallahu’alam”.
“ibu pernah meminta mas Adit, mas Restu, mas Andi dan keluarganya pulang, untuk menjenguk nenek Aminah” tanyaku , yang di jawab dengan gelengan kepala ibu
“nenek Aminah tidak pernah meminta itu” jawabnya, aku mengernyitkan dahi heran
“kalo ibu memberikan uang kiriman ke nenek, apa beliau bilang” tanyaku lagi
“setiap kali ia menerima, hanya mengucapkan terima kasih lalu langsung masuk kerumah” jawab ibu “tapi, ibu juga tidak tau uang-uang itu di pakai untuk apa, karena yang ibu tau sampai sekarang nenek Aminah masih bekerja keras menghidupi dirinya sendiri” lanjut ibu
“Subhanallah” ucapku takjub “kemarin nenek aminah bilang kalo beliau merindukan anak-anaknya” uajarku seperti pada diri sendiri. “nenek juga bilang , tak khan tenang menghadap Allah sebelum di maafkan oleh anak-anaknya” lanjutku
“Nenek bilang begitu?”
“ya!, dan kita harus membantu beliau bu” aku memandang wajah ibu penuh harap.
Ibu memandangku dengan helaan nafas, kemudian beliau menganggukan kepala, kami tersenyum. ***

Sudah dua hari ini aku tidak melihat nenek Aminah , apa karena aku tidak memperhatikan karena kesibukanku bersilaturahmi ke tetangga akhir-akhir ini, rasa ingin tauku membawa langkahku memasuki halaman rumah nenek Aminah, aku baru sempat berkunjung di rumahnya setalah empat hari menginap di kampung halaman ku ini, pohon-pohon rambutan itu masih tampak menjaulang di pekarangan rumahnnya, memang tidak ada yang berubah, hampir semua sama tatanan rumah ini tapi terlihat lebih kusam warna cat, meski masih terkesan sangat rapi, aku mengenal nenek Aminah memang sangat rajin, dan bersih.

Aku sudah menelepon mas Adit anak tertua nenek Aminah, tapi sepertinya dia dan saudara-saudaranya yang lain masih enggan pulang kerumah, karena kesibukanya, sedang mbak Asti, aku baru tau ternyata masih sangat membenci nenek Aminah, pasalnya ketika mbak Asti dan suaminya di usir dari rumah ini, mbak Asti dalam keadaan mengandung, karena stres dan banyak sebab dia keguguran anak pertamanya, saat itulah mbak Asti bersumpah tidak akan memaafkan nenek aminah, meski kami membujuk agar mbak Asti mau memaafkan.

bersambung

No comments:

Post a Comment