Kami, selayaknya pasangan yang menikah pada umumnya, memiliki keturunan adalah salah satu tujuan dari pernikahan kami. Mendidik anak-anak yang lahir dari darah daging kami dan juga mengemban amanah Nya untuk melahirkan generasi yang takut kepada Nya.
Namun hidup harus selalu tunduk pada Yang Maha Memberi, hingga bulan kelima berjalan tamu bulananku masih setia berkunjung. Dan kami sadar ini adalah jawaban Rabb’ kami atas do’a yang senantiasa di mohonkan suamiku “Ya Allah, karuniakan anak pada kami di saat yang tepat”.
Dan saat yang tepat itu kemudian kami dapatkan pada bulan januari. Aku berselimut rasa haru ketika menyadari hendak jadi ibu, ketika meraba perutku yang di dalamnya tengah tumbuh segumpal darah yang bernama janin. Ungkapan syukur tak henti kami panjatkan. Allah tak membiarkan kami menunggu begitu lama.
Sejak dokter menyatakan aku positif hamil meski masih ragu-ragu karena belum terlihat tanda-tanda kehamilan saat di USG. Aku mulai berhati-hati menjaga kandunganku, menjauhi makanan yang notabene bisa membuatku gagal hamil. Terkadang akupun sering mengajak janinku berbicara, kembali aktif ber tadarus Al Qur’an yang kemudian ku tutup dengan do’a , semoga Allah mengilhamkan kebenaran ayat-ayat Alqur’an padaku dan pada anakku.
Semua terasa berjalan begitu singkat, ketika di penghujung bulan yang sama aku merasakan sakit luar biasa di rahimku dibarengi bercak darah selayaknya haid. Dokter tempat pertama aku memeriksakan diri menyatakan aku tengah kontraksi dan mungkin mengalami abortus. Sebelum kemudian aku di rujuk di UGD rumah sakit terdekat. Tapi rasa sakit itu membuatku terus berteriak, memohon pada semua yang tengah memperhatikanku untuk sedikit memberikan pertolongan agar rasa sakitku berkurang, tapi mungkin, para suster atau dokter dirumah sakit itu sudah terlampau biasa mendengar teriakan kesakitan dari pasiennya.
“Allahuakbar” aku terus berteriak menyebut asma Nya, tak ada lagi yang lain kecuali beristighfar memohon ampunan Nya jika rasa sakit ini adalah teguran Nya.
“Tolong bius saya suster” ibaku pada suster yang tengah bertanya-tanya padaku
“Kami tidak bisa sembarangan mengambil tindakan, ini adalah proses alami, jika ingin menjadi ibu kita harus kuat, teruslah beristighfar, tahan rasa sakit itu” jawab sang suster
Dan aku mulai terdiam, suster benar, seorang ibu yang kukenal adalah orang-orang yang kuat, orang –orang yang rela syahid demi anak-anaknya. Orang yang akan menyembunyikan air mata dan rasa sakitnya di depan anak-anaknya. Dan aku tak lagi menjerit minta tolong pada siapapun, kutahan rasa sakit yang terus melilit perutku hingga aku di pindahkan dari ruang UGD ke ruang kebidanan.
Rasa sakit itu reda dengan sendirinya ketika janin yang berusia empat minggu di rahimku telah meninggalkanku. Entah kenapa aku hanya tersenyum, bersyukur telah melewati rasa sakit yang terhebat kurasakan. Aku serasa tak menyadari bahwa aku telah kehilangan hal termanis yang kudapatkan dari penantian kami selama lima bulan.
Sebagai hamba Allah yang berfikir aku hanya berusaha menggali hikmah yang sebenarnya dari Menunggu, Mendapatkan dan Kehilangan.
“Ya Robbi habli minasholihin (Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh)”
“Fabasyar naahu bighulaamin halim (Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar)”
Al Qur’an Ash Shaaffat : 100 & 101
Batam, 2 Februari 2011
Tini