Di lahirkan di keluarga yang berkehidupan layak dengan kasih sayang berlimpah membuatku begitu bangga. Aku bersyukur dengan rahmat yang Allah limpahkan kepadaku. Tapi siapa sangka kenyataanya mereka menjerumuskan aku dalam penderitaan panjang, ketika mereka menjodohkan aku dengan pria yang sudah aku anggap sebagai kakak ku sendiri. Mereka hancurkan impianku untuk menjadi putri bagi suamiku, hubungan keluarga dengan keluarga suamiku akhirnya berakhir. “ Ya Rabb’ pantaskah jika aku harus membenci kedua orang tuaku”
Mentari bersinar dengan ke agungan perintah Allah, kuhirup segar rahmatnya sepanjang hidupku hingga kini, ini pertama kalinya aku meninggalkan rumah kedua orang tuaku, ingin kuraih cita atas sekolah selama sembilan tahun ini ku lewati, dengan doa yang kupanjatkan pada Zat Yang Maha Pengasih aku berharap Ia tetap mengasihiku walaupun aku pergi dengan setengah restu dari orang tua. Meski belum ku rasakan rasa rinduku yang teramat dalam pada Tuhan yang menciptakanku namun aku tetap berharap Ia memberi kesempatan atas rindu itu tertanam dalam kalbu yang terdalam.
Tes kerja ku yang pertama ku lewati nyaris sempurna, aku di terima meski sebagai operator dengan gaji yang pas-pas an, tapi aku cukup bersyukur , kulalui hariku dengan senyuman, walu kadang tersandung masalah kecil yang tetap bisa ku pecahkan dengan bantuan sahabat-sahabatku.Sampai suatu hari aku menghadapi dilema yang merupakan awal dari penderiataanku,
Aku tau aku di jodohkan
Discount di WARTEl dekat rumah mengijinkan aku memberi kabar pada orang tuaku untuk pertama kalinya, rasa rindu menyeruak, memaksa naluri lembut wanita ku untuk meneteskan air mata, sebagai anak sulung tentu aku bisa merasakan kerinduan yang sama di hati mereka, kubayangkan wajah ibu dengan mata sembab dan garis keriput mulai tampak di mata beningnya, dan ayah dengan lengan yang legam tersengat sinar mentari sepanjang ia memberi nafkah pada keluarganya. “ Ibu, Ninda tau ibu ingin ninda pulang tapi tolong ikhlaskan Ninda meraih cita2 Ninda lebih dulu, Ninda ga ingin ngerepotin ayah ibu terus menerus” saat itu tak ada jawaban dari ibu kecuali isakan tangisnya yang makin mengiris luka dihatiku.Beberapa menit kemudian suasana tenang,aku mulai mendengar suara Ibu yang serak “ ibu dan ayah merestui mu nak , tapi bolehkah ibu meminta sesuatu dari mu?” suatu tanya yang membuat aku berdebar namun cepat aku jawab iya. “ Ada yang melamarmu, dan ibu setuju kalau kamu menikah denganya” kata-kata Ibu jelas terdengar tapi tubuhku melemah “ aku di jodohkan? Apa ini jaman siti Nurbaya, haruskah penderitaan siti Nurbaya aku lalui?” “Ninda” suara ibu memanggil” aku tergagap “ kamu sudah mengenalnya , dia Hanif , mas mu” lanjut Ibu, aku ternganga “ apa ? mas hanif? Tentu aku mengenalnya. Pria yang sudah aku anggap sebagai mas kandungku lantaran aku aku tak punya seorang kakak, pria sholeh di mataku, dengan ketampanan wajahnya. Jika Ibu bertanya apa aku menyukainya , yach tentu saja tapi untuk jadi seorang suami yang harus aku cintai, apa aku bisa? Apa tidak cukup aku menganggapnya sebagi kakak ku” hanya hatiku yang bicara tentu aku tidak tega berkata seperti itu pada iBu yang jelas-jelas menginginkan aku menerimanya dengan balasan ia merestuiku tinggal di luar rumah selama yang aku mau. “ Ya ibu, jika itu membuat ibu dan ayah bahagia Ninda terima apapun yang terbaik menurut Kalian” Jawaban kegembiraan dari Ibu dan ayah mengukir senyum yang mungkin adalah luka lagi di hatiku.
Ia Mulai Menghubungiku
Kabar itu bagai derasnya air bah yang menghanyutkanku , aku merasa setiap orang d kampungku mengetahuinya. Aku terjebak, tapi demi Ayah dan Ibu aku berusaha ikhlas menerima, aku percaya dalam waktu selama yang aku mau aku menjauh dari rumah kalau memang mas Hanif jodohku Allah tetap akan mempertemukan kami , satu kedewasaan dan kebijakan pertama yang dapat aku putuskan saat itu . Aku mulai tenang menjalani hidupku, ku nikmati hidup apa adanya dengan gaji yang kuterima tiap bulan untuk beli baju, makan dan kebutuhan hidupku lainya , meski sedikit aku bisa menyisihkan untuk orang tuaku di rumah . Aku tak ingin memikirkan bahwa dua tahun yang akan datang aku akan menikah dan harus memiliki uang lebih untuk mempersiapkanya, bagiku siapa yang mengajaku menikah dialah yang harus bertanggung jawab atas semuanya.
Seperti janji yang harus kutepati akhirnya aku menelpon mas Hanif di wartel ( dua bulan sebelum aku sanggup membeli HP), saat itu hatiku berdebar-debar menunggu apa yang akan mas Hanif katakan , tapi tak ada kata-kata khusus, kecuali obrolan biasa yang kami lakukan , aku menyukai itu di usiaku yang masih 19 tahun aku menyukai gaya bicara nya yang lembut apalagi jika sahabat-sahabatku yang telah mengenalnya mengatakan aku beruntung bisa menjadi pendamping hidup pria tampan dan sholeh seper ti dia, saat itulah aku mulai berterima kasih pada kedua orang tuaku. Komunikasi kami terus berlanjut bahkan ia telah berani memanggilku dengan kata sayang, bahasa sms nya pun penuh perhatian dan membuat wanita seperti ku pasti klepek-klepek seketika , pendek cerita kami pacaran lewat telpon dan sms saja yang tentu saja di tempat sejauh kami , aku bisa membohonginya begitu juga dia.
Aku Mulai Betah Meninggalkan Rumah
Dalam waktu satu tahun penampilan ku mulai kian menarik bagi kaum adam, tidak sedikit yang menginginkan aku menjadi kekasih mereka tapi sekali lagi demi ayah dan ibu aku pegang janjiku bahwa aku tetap akan menjadi milik mas Hanif seutuhnya, walaupun aku belum menjadi wanita sholehah tapi aku tau kehormatan wanita adalah segala-galanya. Demi ayah dan ibu aku terus bersabar melawan naluriku untuk di cintai , di sayangi di perhatikan oleh orang yang melihatku secara langsung , orang yang bisa membantuku ketika aku butuh pertolongan, bukan orang yang hanya bisa mengirim sms dan mengusik tidurku untuk sholat subuh. Aku benar-benar menghadapi dilema, antara janjiku dan nafsuku.
Kesabaranku berada di ujungnya, aku jatuh cinta dengan seseorang , perhatianya membuat aku tertarik dan tak ingin melepaskanya, sahabat-sahabatku terus mengingatkanku untuk tidak bermain api, tapi apa dayaku aku wanita lemah yang ingin di mengerti ( seperti kata ADA BAND) , aku tidak perduli , aku menerima ajakanya untuk nonton, jalan ke mall, ke pantai makan dll, meski ia sama sekali tak menyentuhku. Ya Allah aku menghianati kepercayaan Orang tuaku, mas Hanif dan keluarganya tapi sekali lagi lagi aku tak perduli aku pikir mereka yang salah karena menentukan pernikahan kami tanpa mempertemukan kami lebih dulu . Yang kutau aku ingin bebas, lepas ,menentukan masa depanku sendiri mungkin dengan orang yang sekarang aku cintai meski ia tak mendapat jawaban bahwa aku juga menyukainya.
Aku Harus Pulang
“ Pernikahan kalian dua bulan lagi, kapan kamu pulang Ninda?” pertanyaan ibu yang selalu mengusikku. “ Aku harus jujur pada mereka bahwa aku tidak bisa , aku ingin menikah dengan orang yang aku cintai” tapi kebingungan kuhadapi, aku takut ayah dan ibu akan marah pada ku tapi apa boleh buat aku harus katakan yang sejujurnya sebelum semuanya terlambat. “ Ibu, Ninda memutuskan bahwa Ninda tidak akan menikah dengan Mas Hanif, ninda tidak bisa ibu, Ninda…….” Aku memutuskan ucapan saat itu kudengar isakan pilu dari suara ibu “ apa ini yang Ibu ingin dengar dari kamu nak, apa kamu ingin membunuh kami berdua dengan sikap kamu, apa kurangnya ibu dan ayah menuruti semua kemauan kamu , katakan pada ibu nak, katakan lebih baik sekarang bunuh ibu langsung dari pada ibu harus menanggung malu seperti ini, jika kamu tidak ingin menikah kenapa tidak dari dulu kamu katakan” ku dengar ibu menahan tangis , aku terguncang “ibu benar, aku akan menghancurkan nama baik keluarga kami , aku memang tak bisa memberi apa-apa untuk membalas kebaikan mereka tapi haruskan kurajut masa indahku dengan orang yang sama sekali tak menumbuhkan getar bahagia di hatiku” batinku bergejolak , “ ayah, ibu biarkan Ninda bicara pada ayah” ujarku berusaha mencari perlindungan dari ayah tapi jawaban ibu makin membuat aku pilu “ ayahmu tidak ingin bicara padamu” air mataku terus mengalir , bahkan ayahpun tak ingin membelaku, Ia yang selalu berpikir bijak mengatasi tiap masalahku waktu berada dalm pelukanya , membiarkan aku dan tak mau membantuku, kenapa? Aku benar-benar sendiri “ baiklah kalau itu yang ibu mau , Ninda akan pulang , Ninda akan jadi istri mas hanif, Ninda kan jadi anak yang berbakti pada ayah dan Ibu”ujarku seketika, keputusan yang luar bisa cepat. Aku putus asa, aku akan pulang aku akan menikah, aku akan meninggalkan semua impianku, selamat tinggal kebahagiaanku.
Aku Menikah
Mas hanif sudah datang ke kampungku , orang tuaku menyambutnya dengan bahagia tapi apakah sebahagia aku? Tentu saja aku harus merasakan itu . aku harus menerima apa adanya takdir yang Allah gariskan kepadaku , terus menyesali keadaan bukan jalan keluar sekarang bagaimana aku berusaha mencintai mas Hanif sebagai calon suamiku dan akan menjadi suamiku dua minggu lagi setelah lamaran malam itu berlalu begitu hikmat. Namun apa yang terjadi , orang tuaku sangat kecewa ketika tau bahwa mas Hanif tak membawa sepeser uang pun untuk modal pernikahan kami, keluarga mereka memang keterlaluan , mereka biarkan mas Hanif menikahiku dengan tangan hampa, mereka seperti membuang mas Hanif begitu saja kerumahku. Tentu saja kemarahan orang tuaku secepat kilat tersebar di seluruh pelosok desaku, setiap orang menggunjingku , mengolok-ngolok aku. Aku semakin kecewa, marah, sedih dan bercampur aduk perasaan lainya. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain menangis sepanjang malam sebelum pernikahan kami , mas Hanif tau itu , ia hanya bisa menyesali diri sepeti halnya aku, tapi pernikahan tetap harus di laksanakan, mas hanif dan keluargaku tak akan membiarkan aku kabur dari rumah.
Pernikahanku berjalan lancar, tapi bercampur dengan suasana yang tak pernah ku bayangkan akan terjadi dalam pernikahanku, ketidak harmonisan hubungan antara keluargaku dan keluarga mas hanif, kami tidak menyadari pernikahan bukan hanya antara aku dengan suamiku tapi antara keluarga kami, pernikahanku seperti menghancurkan hubungan baik yang selama ini keluarga kami bina. Pernikahanku bukan mempererat persaudaraan tapi justru menghancurkanya. Siapa yang salah mas Hanifkah yang bermodal dengkul ketika menikahiku, atau kekecewaan orang tuaku karena mengira Mas Hanif mempunyai segudang harta yang bisa membahagiakanku.
Setelah pernikahan perseteruan masih berlanjut , kami tinggal di rumah orang tuaku . Parahnya entah kenapa aku tidak mencintai suamiku, tapi aku terus mencoba menjadi istri yang baik . Orang tua ku terus mengungkit-ungkit kelemahan mas Hanif, dan itu makin menusuk perasaan ku, aku tak pernah sekali pun membela suamiku yang terus bersabar menghadapi kenyataan bahwa kemiskinanya beresiko terhina seperti itu , Ibu terus merongrong mas Hanif menginginkan mas Hanif sadar sepenuhnya bahwa ia tak punya hak untuk bicara atau mengaturku sebagi istrinya, Ia seperti lelaki terbuang yang di pungut untuk ku jadikan suami , yang hanya layak jadi budak dan tak punya wewenang mengambil keputusan atasku.
Kelembutan sikap mas Hanif menyentuh hatiku tapi pengaruh orang tuaku tetap kuat bercokol di hatiku selama sebulan mas hanif menuruti semua perintah orang tuaku meski kadang kebandelanya membuat orang tua dan aku marah besar kepadanya, ia tetap tersenyum , sejatinya ia tak boleh membuat kesalahan sedikitpun karena itu akan membuat seluruh ke burukanya keluar dari bibir kami.
Bulan berikutnya ia mulai mengambil sikap , ia mulai membimbingku jadi istri sholehah, terus mengajak ku sholat berjamaah di rumah dan kadang mengajak ku ke masjid, ia katakan bahwa tiap masalah harus kami selesaikan sendiri tanpa melibatkan orang lain, tapi sayang nya tiap kami ada masalah orang tuaku selalu hadir sebagai pemanas perasaan ku untuk makin tak menyukai sikapnya, aku tidak menyukai ketika ia melarang ku mengerjakan ini dan itu, aku tidak pernah sadar bahwa perintah suami adalah wajib untuk aku patuhi dan kenyataanya aku cuek terhadap tiap ucapanya.
Aku makin melihat ketidak beresan sikapnya , sepertinya kesabaranya selama ini telah habis , jika marah ia meninggalkan rumah dan seharian tinggal di rumah kakak nya, emosiku memuncak melihat itu , akhirnya kami pisah ranjang padahal pernikahanku berusia dua bulan , aku makin marah dan menyesal telah menikah denganya, sedang orang tuaku, mereka hanya bisa marah sepeti biasa dan iba melihat nasibku, “ kalau tau seperti ini kejadianya, kami akan biarkan kamu menikah dengan lelaki pilihan hatimu” ujar mereka tapi apa yang bisa mereka perbuat toh mereka tak akan bisa mengembalikan gelar keperawananku, aku telah pasrah atas apapun yang terjadi. Hingga malam itu suamiku yang selama ini sabar atas cacian orang tuaku meninggalkan rumah dan pergi kerumah kakak nya. Ia hanya manusia biasa yang tak sanggup terhina dan tak punya wibawa di depan istrinya . namun ternyata syetan telah berhasil membujuk ku aku tak mau menerima tawaranya untuk mengikutinya kerumah orang tuanya Aku pasrah bila gelar janda akan berhasil kuraih setelah pernikahan pada bulan yang kedua, seluruh orang akan tertawa menang melihat kehancuranku .
Suamiku benar-benar meninggalkanku tanpa sebuah kata cerai , aku janda kembang, sebuah gelar yang paling di takuti oleh setiap kaum hawa , apa yang bisa di lakukan oleh seorang janda. Menangiskah sepanjang malam, menghadapi pandangan sinis tiapa orang? “ Ya Allah salahku kah jika ini terjadi padaku?”. Kini penyesalan tak khan mampu mengembalikan segalanya, ibarat pepatah “nasi telah menjadi bubur” aku harus menunggu beberapa bulan kedepan untuk menggugat suamiku, cinta itu, keluarga sakinah itu tak pernah ada dalam daftar impianku lagi, usiaku masih 20 tahun tapi gelar janda sudah berada di tanganku, orang tuaku hanya bisa menyesali sikap mereka dan akhirnya mengalah memberikan semua keputusan kepadaku, tapi tak ada hal pun yang bisa ku putuskan selain menunggu dan menunggu. ***
To sahabatku , saudaraku……….. apapun dirimu kami mencintaimu, berharap yang terbaik untuk mu.
Batam 23 November 2007
Tiny
Mentari bersinar dengan ke agungan perintah Allah, kuhirup segar rahmatnya sepanjang hidupku hingga kini, ini pertama kalinya aku meninggalkan rumah kedua orang tuaku, ingin kuraih cita atas sekolah selama sembilan tahun ini ku lewati, dengan doa yang kupanjatkan pada Zat Yang Maha Pengasih aku berharap Ia tetap mengasihiku walaupun aku pergi dengan setengah restu dari orang tua. Meski belum ku rasakan rasa rinduku yang teramat dalam pada Tuhan yang menciptakanku namun aku tetap berharap Ia memberi kesempatan atas rindu itu tertanam dalam kalbu yang terdalam.
Tes kerja ku yang pertama ku lewati nyaris sempurna, aku di terima meski sebagai operator dengan gaji yang pas-pas an, tapi aku cukup bersyukur , kulalui hariku dengan senyuman, walu kadang tersandung masalah kecil yang tetap bisa ku pecahkan dengan bantuan sahabat-sahabatku.Sampai suatu hari aku menghadapi dilema yang merupakan awal dari penderiataanku,
Aku tau aku di jodohkan
Discount di WARTEl dekat rumah mengijinkan aku memberi kabar pada orang tuaku untuk pertama kalinya, rasa rindu menyeruak, memaksa naluri lembut wanita ku untuk meneteskan air mata, sebagai anak sulung tentu aku bisa merasakan kerinduan yang sama di hati mereka, kubayangkan wajah ibu dengan mata sembab dan garis keriput mulai tampak di mata beningnya, dan ayah dengan lengan yang legam tersengat sinar mentari sepanjang ia memberi nafkah pada keluarganya. “ Ibu, Ninda tau ibu ingin ninda pulang tapi tolong ikhlaskan Ninda meraih cita2 Ninda lebih dulu, Ninda ga ingin ngerepotin ayah ibu terus menerus” saat itu tak ada jawaban dari ibu kecuali isakan tangisnya yang makin mengiris luka dihatiku.Beberapa menit kemudian suasana tenang,aku mulai mendengar suara Ibu yang serak “ ibu dan ayah merestui mu nak , tapi bolehkah ibu meminta sesuatu dari mu?” suatu tanya yang membuat aku berdebar namun cepat aku jawab iya. “ Ada yang melamarmu, dan ibu setuju kalau kamu menikah denganya” kata-kata Ibu jelas terdengar tapi tubuhku melemah “ aku di jodohkan? Apa ini jaman siti Nurbaya, haruskah penderitaan siti Nurbaya aku lalui?” “Ninda” suara ibu memanggil” aku tergagap “ kamu sudah mengenalnya , dia Hanif , mas mu” lanjut Ibu, aku ternganga “ apa ? mas hanif? Tentu aku mengenalnya. Pria yang sudah aku anggap sebagai mas kandungku lantaran aku aku tak punya seorang kakak, pria sholeh di mataku, dengan ketampanan wajahnya. Jika Ibu bertanya apa aku menyukainya , yach tentu saja tapi untuk jadi seorang suami yang harus aku cintai, apa aku bisa? Apa tidak cukup aku menganggapnya sebagi kakak ku” hanya hatiku yang bicara tentu aku tidak tega berkata seperti itu pada iBu yang jelas-jelas menginginkan aku menerimanya dengan balasan ia merestuiku tinggal di luar rumah selama yang aku mau. “ Ya ibu, jika itu membuat ibu dan ayah bahagia Ninda terima apapun yang terbaik menurut Kalian” Jawaban kegembiraan dari Ibu dan ayah mengukir senyum yang mungkin adalah luka lagi di hatiku.
Ia Mulai Menghubungiku
Kabar itu bagai derasnya air bah yang menghanyutkanku , aku merasa setiap orang d kampungku mengetahuinya. Aku terjebak, tapi demi Ayah dan Ibu aku berusaha ikhlas menerima, aku percaya dalam waktu selama yang aku mau aku menjauh dari rumah kalau memang mas Hanif jodohku Allah tetap akan mempertemukan kami , satu kedewasaan dan kebijakan pertama yang dapat aku putuskan saat itu . Aku mulai tenang menjalani hidupku, ku nikmati hidup apa adanya dengan gaji yang kuterima tiap bulan untuk beli baju, makan dan kebutuhan hidupku lainya , meski sedikit aku bisa menyisihkan untuk orang tuaku di rumah . Aku tak ingin memikirkan bahwa dua tahun yang akan datang aku akan menikah dan harus memiliki uang lebih untuk mempersiapkanya, bagiku siapa yang mengajaku menikah dialah yang harus bertanggung jawab atas semuanya.
Seperti janji yang harus kutepati akhirnya aku menelpon mas Hanif di wartel ( dua bulan sebelum aku sanggup membeli HP), saat itu hatiku berdebar-debar menunggu apa yang akan mas Hanif katakan , tapi tak ada kata-kata khusus, kecuali obrolan biasa yang kami lakukan , aku menyukai itu di usiaku yang masih 19 tahun aku menyukai gaya bicara nya yang lembut apalagi jika sahabat-sahabatku yang telah mengenalnya mengatakan aku beruntung bisa menjadi pendamping hidup pria tampan dan sholeh seper ti dia, saat itulah aku mulai berterima kasih pada kedua orang tuaku. Komunikasi kami terus berlanjut bahkan ia telah berani memanggilku dengan kata sayang, bahasa sms nya pun penuh perhatian dan membuat wanita seperti ku pasti klepek-klepek seketika , pendek cerita kami pacaran lewat telpon dan sms saja yang tentu saja di tempat sejauh kami , aku bisa membohonginya begitu juga dia.
Aku Mulai Betah Meninggalkan Rumah
Dalam waktu satu tahun penampilan ku mulai kian menarik bagi kaum adam, tidak sedikit yang menginginkan aku menjadi kekasih mereka tapi sekali lagi demi ayah dan ibu aku pegang janjiku bahwa aku tetap akan menjadi milik mas Hanif seutuhnya, walaupun aku belum menjadi wanita sholehah tapi aku tau kehormatan wanita adalah segala-galanya. Demi ayah dan ibu aku terus bersabar melawan naluriku untuk di cintai , di sayangi di perhatikan oleh orang yang melihatku secara langsung , orang yang bisa membantuku ketika aku butuh pertolongan, bukan orang yang hanya bisa mengirim sms dan mengusik tidurku untuk sholat subuh. Aku benar-benar menghadapi dilema, antara janjiku dan nafsuku.
Kesabaranku berada di ujungnya, aku jatuh cinta dengan seseorang , perhatianya membuat aku tertarik dan tak ingin melepaskanya, sahabat-sahabatku terus mengingatkanku untuk tidak bermain api, tapi apa dayaku aku wanita lemah yang ingin di mengerti ( seperti kata ADA BAND) , aku tidak perduli , aku menerima ajakanya untuk nonton, jalan ke mall, ke pantai makan dll, meski ia sama sekali tak menyentuhku. Ya Allah aku menghianati kepercayaan Orang tuaku, mas Hanif dan keluarganya tapi sekali lagi lagi aku tak perduli aku pikir mereka yang salah karena menentukan pernikahan kami tanpa mempertemukan kami lebih dulu . Yang kutau aku ingin bebas, lepas ,menentukan masa depanku sendiri mungkin dengan orang yang sekarang aku cintai meski ia tak mendapat jawaban bahwa aku juga menyukainya.
Aku Harus Pulang
“ Pernikahan kalian dua bulan lagi, kapan kamu pulang Ninda?” pertanyaan ibu yang selalu mengusikku. “ Aku harus jujur pada mereka bahwa aku tidak bisa , aku ingin menikah dengan orang yang aku cintai” tapi kebingungan kuhadapi, aku takut ayah dan ibu akan marah pada ku tapi apa boleh buat aku harus katakan yang sejujurnya sebelum semuanya terlambat. “ Ibu, Ninda memutuskan bahwa Ninda tidak akan menikah dengan Mas Hanif, ninda tidak bisa ibu, Ninda…….” Aku memutuskan ucapan saat itu kudengar isakan pilu dari suara ibu “ apa ini yang Ibu ingin dengar dari kamu nak, apa kamu ingin membunuh kami berdua dengan sikap kamu, apa kurangnya ibu dan ayah menuruti semua kemauan kamu , katakan pada ibu nak, katakan lebih baik sekarang bunuh ibu langsung dari pada ibu harus menanggung malu seperti ini, jika kamu tidak ingin menikah kenapa tidak dari dulu kamu katakan” ku dengar ibu menahan tangis , aku terguncang “ibu benar, aku akan menghancurkan nama baik keluarga kami , aku memang tak bisa memberi apa-apa untuk membalas kebaikan mereka tapi haruskan kurajut masa indahku dengan orang yang sama sekali tak menumbuhkan getar bahagia di hatiku” batinku bergejolak , “ ayah, ibu biarkan Ninda bicara pada ayah” ujarku berusaha mencari perlindungan dari ayah tapi jawaban ibu makin membuat aku pilu “ ayahmu tidak ingin bicara padamu” air mataku terus mengalir , bahkan ayahpun tak ingin membelaku, Ia yang selalu berpikir bijak mengatasi tiap masalahku waktu berada dalm pelukanya , membiarkan aku dan tak mau membantuku, kenapa? Aku benar-benar sendiri “ baiklah kalau itu yang ibu mau , Ninda akan pulang , Ninda akan jadi istri mas hanif, Ninda kan jadi anak yang berbakti pada ayah dan Ibu”ujarku seketika, keputusan yang luar bisa cepat. Aku putus asa, aku akan pulang aku akan menikah, aku akan meninggalkan semua impianku, selamat tinggal kebahagiaanku.
Aku Menikah
Mas hanif sudah datang ke kampungku , orang tuaku menyambutnya dengan bahagia tapi apakah sebahagia aku? Tentu saja aku harus merasakan itu . aku harus menerima apa adanya takdir yang Allah gariskan kepadaku , terus menyesali keadaan bukan jalan keluar sekarang bagaimana aku berusaha mencintai mas Hanif sebagai calon suamiku dan akan menjadi suamiku dua minggu lagi setelah lamaran malam itu berlalu begitu hikmat. Namun apa yang terjadi , orang tuaku sangat kecewa ketika tau bahwa mas Hanif tak membawa sepeser uang pun untuk modal pernikahan kami, keluarga mereka memang keterlaluan , mereka biarkan mas Hanif menikahiku dengan tangan hampa, mereka seperti membuang mas Hanif begitu saja kerumahku. Tentu saja kemarahan orang tuaku secepat kilat tersebar di seluruh pelosok desaku, setiap orang menggunjingku , mengolok-ngolok aku. Aku semakin kecewa, marah, sedih dan bercampur aduk perasaan lainya. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain menangis sepanjang malam sebelum pernikahan kami , mas Hanif tau itu , ia hanya bisa menyesali diri sepeti halnya aku, tapi pernikahan tetap harus di laksanakan, mas hanif dan keluargaku tak akan membiarkan aku kabur dari rumah.
Pernikahanku berjalan lancar, tapi bercampur dengan suasana yang tak pernah ku bayangkan akan terjadi dalam pernikahanku, ketidak harmonisan hubungan antara keluargaku dan keluarga mas hanif, kami tidak menyadari pernikahan bukan hanya antara aku dengan suamiku tapi antara keluarga kami, pernikahanku seperti menghancurkan hubungan baik yang selama ini keluarga kami bina. Pernikahanku bukan mempererat persaudaraan tapi justru menghancurkanya. Siapa yang salah mas Hanifkah yang bermodal dengkul ketika menikahiku, atau kekecewaan orang tuaku karena mengira Mas Hanif mempunyai segudang harta yang bisa membahagiakanku.
Setelah pernikahan perseteruan masih berlanjut , kami tinggal di rumah orang tuaku . Parahnya entah kenapa aku tidak mencintai suamiku, tapi aku terus mencoba menjadi istri yang baik . Orang tua ku terus mengungkit-ungkit kelemahan mas Hanif, dan itu makin menusuk perasaan ku, aku tak pernah sekali pun membela suamiku yang terus bersabar menghadapi kenyataan bahwa kemiskinanya beresiko terhina seperti itu , Ibu terus merongrong mas Hanif menginginkan mas Hanif sadar sepenuhnya bahwa ia tak punya hak untuk bicara atau mengaturku sebagi istrinya, Ia seperti lelaki terbuang yang di pungut untuk ku jadikan suami , yang hanya layak jadi budak dan tak punya wewenang mengambil keputusan atasku.
Kelembutan sikap mas Hanif menyentuh hatiku tapi pengaruh orang tuaku tetap kuat bercokol di hatiku selama sebulan mas hanif menuruti semua perintah orang tuaku meski kadang kebandelanya membuat orang tua dan aku marah besar kepadanya, ia tetap tersenyum , sejatinya ia tak boleh membuat kesalahan sedikitpun karena itu akan membuat seluruh ke burukanya keluar dari bibir kami.
Bulan berikutnya ia mulai mengambil sikap , ia mulai membimbingku jadi istri sholehah, terus mengajak ku sholat berjamaah di rumah dan kadang mengajak ku ke masjid, ia katakan bahwa tiap masalah harus kami selesaikan sendiri tanpa melibatkan orang lain, tapi sayang nya tiap kami ada masalah orang tuaku selalu hadir sebagai pemanas perasaan ku untuk makin tak menyukai sikapnya, aku tidak menyukai ketika ia melarang ku mengerjakan ini dan itu, aku tidak pernah sadar bahwa perintah suami adalah wajib untuk aku patuhi dan kenyataanya aku cuek terhadap tiap ucapanya.
Aku makin melihat ketidak beresan sikapnya , sepertinya kesabaranya selama ini telah habis , jika marah ia meninggalkan rumah dan seharian tinggal di rumah kakak nya, emosiku memuncak melihat itu , akhirnya kami pisah ranjang padahal pernikahanku berusia dua bulan , aku makin marah dan menyesal telah menikah denganya, sedang orang tuaku, mereka hanya bisa marah sepeti biasa dan iba melihat nasibku, “ kalau tau seperti ini kejadianya, kami akan biarkan kamu menikah dengan lelaki pilihan hatimu” ujar mereka tapi apa yang bisa mereka perbuat toh mereka tak akan bisa mengembalikan gelar keperawananku, aku telah pasrah atas apapun yang terjadi. Hingga malam itu suamiku yang selama ini sabar atas cacian orang tuaku meninggalkan rumah dan pergi kerumah kakak nya. Ia hanya manusia biasa yang tak sanggup terhina dan tak punya wibawa di depan istrinya . namun ternyata syetan telah berhasil membujuk ku aku tak mau menerima tawaranya untuk mengikutinya kerumah orang tuanya Aku pasrah bila gelar janda akan berhasil kuraih setelah pernikahan pada bulan yang kedua, seluruh orang akan tertawa menang melihat kehancuranku .
Suamiku benar-benar meninggalkanku tanpa sebuah kata cerai , aku janda kembang, sebuah gelar yang paling di takuti oleh setiap kaum hawa , apa yang bisa di lakukan oleh seorang janda. Menangiskah sepanjang malam, menghadapi pandangan sinis tiapa orang? “ Ya Allah salahku kah jika ini terjadi padaku?”. Kini penyesalan tak khan mampu mengembalikan segalanya, ibarat pepatah “nasi telah menjadi bubur” aku harus menunggu beberapa bulan kedepan untuk menggugat suamiku, cinta itu, keluarga sakinah itu tak pernah ada dalam daftar impianku lagi, usiaku masih 20 tahun tapi gelar janda sudah berada di tanganku, orang tuaku hanya bisa menyesali sikap mereka dan akhirnya mengalah memberikan semua keputusan kepadaku, tapi tak ada hal pun yang bisa ku putuskan selain menunggu dan menunggu. ***
To sahabatku , saudaraku……….. apapun dirimu kami mencintaimu, berharap yang terbaik untuk mu.
Batam 23 November 2007
Tiny
No comments:
Post a Comment