Naufal berkali-kali menguap menahan kantuknya yang teramat sangat menyerangnya ba’da subuh pagi itu. Bagaimana tidak semalaman ia harus menyelesaikan tugas kuliahnya yang menumpuk hingga jam menunjukan pukul 1.30 WIB, setelah memejam kan mata sebentar ia memutuskan untuk sholat tahajud dan kemudian tidur dengan meninggalkan tugas yang belum terselesaikan dengan tuntas. Tapi pagi ini ia tak bisa dengan seleksa menikmati udara pagi dengan tidur nyenyak karena ia punya jadwal bersama sahabat-sahabat nya menyewa rumah di perantauan itu untuk tilawah bersama, meski berkali-kali Nata menyenggol lenganya karena pandangannya akan mushaf yang ia pegang mulai mengabur.
Tilawah berakhir jam 05. 30 WIB seperti biasa mereka mulai menyibukan diri dengan kegiatan masing-masing, hari ini empat sekawan itu shaum bersama sehingga tidak ada yang bertugas memasak. Bahkan kadang karena di sibukan oleh kegiatan di kampus sehingga jarang ada tugas memasak di rumah. Naufal kembali berkutat dengan tugas kuliahnya, Statistik memang membutuhkan konsentrasi lebih untuk mengerjakanya, hingga dia harus merasa jenuh karena berkali-kali tidak menemukan jawaban yang memuaskan. “ Aku tidak pernah melarangmu aktif dalam kegiatan kampus, bahkan merasa bangga punya sahabat yang di angkat menjadi ketua Rohis kampus kita, tapi sebagai sahabat, aku harus mengingatkanmu bahwa kuliah mu harus tetap selesai dengan hasil yang memuaskan, aku juga ingatkan kalau kamu mengemban tugas dari pemberi beasiswa kuliahmu” Nata bicara dengan nada pelan sambil menyetrika pakaian tanpa memandang wajah Naufal . “Aku liat semalam kamu tidur sampai larut, istirahat juga perlu, kesehatan itu mahal harganya” lanjutnya.
Naufal meletakan penanya, serentak ia menghembuskan nafas berat nya, ia tau persis apa yang di katakan Nata benar adanya , kekacauan nilai-nilai kuliahnya memang berawal dari kegiatan-kegiatan kampus yang luar biasa menyita waktunya terutama di lembaga dakwah yang ia emban adalah ketua. Sebagai ujung tombak bagaimana bisa memimpin anggota-anggotanya, bagaimana bisa mengemban prinsip-prinsip dakwah dalam sikapnya, tapi ga adil rasanya jika ia harus menyalahkan lembaga dakwahnya sebagai biang kerok permasalahan itu, karena tak di pungkirinya sejak ia bergabung dalam lembaga dakwah itu, ia merasakan kenikmatan iman yang luar biasa yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Bahkan yang ia rasakan itulah kali pertama ia merasakan keberuntungan semenjak ia menghembuskan nafasnya di bumi ini. Lalu sebenarnya di mana salahnya? Ia juga tidak pernah bergitu konsentrasi di kegiatan lain, yang perannya hanya sebagai anggota. “ ah….” Desahnya pelan, ia tau inilah konsekuensi yang harus dia hadapi, Iman memang sangat mahal harganya. Butuh perjuangan untuk mendapatkan dan mempertahankanya, hanya pada Allah ia memohon petunjuk dan kekuatan. ***
Ruang aula masih sepi ketika naufal menginjakan kaki di sana, Ia pun menyurutkan niat mengucap salam. Kemudian dari balik sakunya dia mengeluarkan secarik kertas, sebuah naskah pidato , ya hari ini ada acara akbar di lembaga dakwah kampusnya sebuah acara bedah novel “ayat – ayat cinta” yang melibatkan novelisnya secara langsung. Tentu sebagai ketua dia akan memberikan sedikit sambutan, layaknya manusia biasa demam panggung menyiksanya semalaman, bagaimana tidak dia harus mengucapkan berpatah-patah kata di hadapan sang novelis yang di kaguminya. Yang banyak mengajarkan arti cinta yang sebenarnya, sepintas bayang seorang gadis dengan jilbab lebar berkelebat gadis yang tak lain adalah sekretarisnya, ah dia bagai bidadari dengan kelembutan sikap dan senyum yang ia tebarkan. Naufal mengerjapkan mata mengusir bayangan yang selalu mengukir senyuman di bibirnya itu, setelah bersitiqfar dengan tatapan kedepan dia ucapkan salam “ Assalamualaikum warrahmatullah wabarakatu” suaranya membahana , sebuah latihan kecil untuk mengasah mentalnya pagi itu, namun tiba-tiba wajah Naufal memerah ketika di tatapnya tak jauh darinya seorang gadis impianya tersenyum sambil menjawab salamnya.
“ukhti ….” Hanya itu yang di ucapkan Naufal, rasa kagok menyerangnya. “ afwan akhi, dari tadi ana ada di sini melihat akhi, hanya saja ana tidak maw mengganggu latihan akhi, dan karena menjawab salam adalah kewajiban tentu ana tidak bisa meninggalkanya” suara lembut itu mampir ketelinga Naufal, suara yang selalu di barengi dengan senyuman manis, Naufal mengangkat pandanganya “ tidak apa-apa ukhti, lalu apa yang ukhti lakukan di sini? Sepagi ini ukhti datang sendirian” Senyum manis itu kembali mengembang “ ana hanya sedikit membereskan ruangan , tentu tidak sendirian karena ukhti Nayla sedang menerima telpon tadi” Naufal terdiam wajah teduh itu bagai sihir sungguh ia tak khan rela melepaskan pandangannya, namun dengan terkesiap dia mulai menyadari kekeliruanya.
“ Assalamualaikum, ehm ehm sedang apa nich bedua-dua an hehehe” suara Nayla mengagetkan dua insan yang berdiri lumayan jauh jaraknya itu “ ukhti Nayla waalakumsalam warrahmatullah, khaifa khaluq?” jawab Naufal “ Alhamdulillah, luar biasa Allahuakbar ya akhi Naufal, syukron, bagaimana persiapanya, jangan gemetar yach “ goda Nayla lagi , Naufal hanya tersenyum lalu ia minta izin untuk keruang Rohis karena ada sesuatu yang harus dia ambil .
“ Ikhwan Naufal memang cukup mengagumkan yach Nazwa” goda Nayla setelah Naufal berlalu “ukhti, tidak baik membicarakan orang” jawab gadis yang bernama Nazwa “ ya dech, aku tau kalian saling menyukai, semua bisa di lihat dari mata kalian” lanjut Nayla “ukhti, jangan memperburuk situasi , kalau orang dengar bisa jadi fitnah untuk kami berdua, bagaimana mungkin kami yang selalu menentang pacaran ternyata tidak cukup iman untuk menjauhinya, ana taw Allah punya rencana terindah untuk kami” Nayla terdiam ia taw dua orang yang dia bilang serasi itu punya karakter yang mengagumkan, di usianya yang cukup muda dan rentan dengan sebuah fenomena “pacaran” ***
Naufal menghadap murobinya setelah acara pengajian malam itu berakhir, hanya mereka berdua yang bicara, tentu Naufal menebak-nebak tentang apa yang mereka bicarakan, “ Naufal, kemarin ada yang bicara dengan nyai, seorang akhwat menyukaimu, dia bersedia menjadi istrimu” wajah Naufal memerah kaget “menikah ustadz?” tanya Naufal seolah tak percaya , sang ustadz tersenyum mendapati ekspresi Naufal “bukankah fitrah manusia adalah menikah? Insya Allah dia gadis yang shalihah, bisa di ajak membangun keluarga sakinah, tapi belum bisa saya bilang siapa, kalau kamu belum siap menerimanya itu janji kami kepadanya, hanya saja saya ingatkan nak, kalo menikah muda itu indah, ini adalah rizki yang Allah berikan, bukankah kamu tau kalo mayat yang paling hina di hadapan Allah adalah pemuda yang siap menikah namun belum menikah?” murobi Naufal menghentikan ucapanya memperhatikan wajah Naufal yang masih bersembunyi dengan menundukan kepala, setitik air menetes di pipi Naufal ada rasa haru yang menyeruak, tentu ia tau apa yang di katakan guru ngajinya benar adanya tapi ia masih sangat belum siap, tentu dia ingin mendampingi wanita sholihah tapi apakah ia bisa membahagiakanya, sedangkan berpenghasilan saja tidak.
Naufal mengangkat wajahnya setelah merasakan tangan penuh berkah menyentuh pundaknya, masih tersisa mata yang berkaca-kaca , Murobi Naufal pun terhenyak tak menyangka murid yang jadi pujaan murid istrinya itu menangis “ ada apa nak, kenapa menangis, adakah kata-kata yang menyinggung perasaanmu” naufal menggeleng “ saya merasa tidak pantas di inginkan seperti ini ustadz, apalagi oleh gadis seperti yang ustadz bilang , saya masih sangat belum siap, saya takut tidak bisa membahagiakanya, maaf tidak bisa memenuhi harapanya, harapan nyai dan ustadz” lirih terdengar suara Naufal . Sang ustadz menghela nafas pelahan “ saya mengerti nak, semoga Allah memudahkan langkahmu dalam mendapat kan jodoh yang terbaik , dan segera menjadikanmu siap menikah, baiklah nanti saya sampaikan kepada nyai, sekarang pulanglah “ Naufal memandang wajah murabinya kemudian mencium tangan beliau lalu berpamitan. “aminnn “ jawabnya akan doa sang ustadz. ***
Naufal lupa menanyakan siapa gadis itu, ah sang ustadz sendiri bilang tidak akan memberi tau siapa gadis itu kalau ia belum siap menikah. Diantara murid-murid nyai ia taw ada Nazwa di sana, mungkinkah dia? Mungkinkah gadis yang memikat hatinya itu yang menginginkan nya menjadi suaminya, bisa jadi….. bukankah ia tau dari sahabat-sahabat dakwahnya kalau Nazwa menyukainya, bisa jadi gadis itu ingin menikah saja, karena mereka tau hukum pacaran itu tidak di perbolehkan, tapi andai benar itu Nazwa apa Naufal siap? Masih saja ia bilang tidak, ia tidak punya apa-apa. Ia kuliah dengan besiswa dan makan sehari-hari dengan kiriman orang tuanya, kalaupun ia dapat penghasilan itupun dari profesinya sebagai guru private yang hanya cukup untuk ongkos ngampus. Kenapa begitu cepat gadis itu menginginkanya, kenapa tidak 2 tahun mendatang setelah wisuda dan dia mendapatkan pekerjaan tetap. Kenapa dan kenapa? “Yach karena dia bukan jodohku” kesimpulan yang Naufal ambil sampai bunga mimpi menjemputnya, mimpi melihat bidadari surganya dengan senyuman dan kelembutanya Nazwa Nur Islami. ***
Kabar yang Naufal terima bagai petir tanpa hujan, begitu menggelegar, begitu menakutkan, begitu ingin dia hindari tapi apa daya ia tetap hamba yang lemah hamba yang Allah ciptakan dan akan kembali ke pada Nya, Nazwa Nur Islami bidadari surga dalam mimpinya telah berpulang kehadirat Rabb’ petang tadi saat ia memimpikanya saat ia begitu merindukanya, karena apa? Ia ingin menangis berteriak, melepaskan ketidak ikhlasanya kehilangan gadis yang ingin di sandingnya, yang tak pernah dia ungkapkan rasa cinta di dasar hatinya namun saling mengetahui dan saling menjaga diri dari ke sembronoan sikap. “Innalillahi wainnailaihi Rajiun” gadis yang begitu muda telah berpulang karena sebuah kecelakaan, dan alangkah kabar itu menyiksa hatinya ketika kecelakaan itu terjadi tak jauh dari rumah murabinya. Nazwa meninggal setelah mendengar kabar Naufal belum siap menikah denganya, mungkin ada getir kekecewaan yang dibawa Nazwa menghadap Rabb’ dan itu kepada Naufal, pria yang merindukanya dalam malam-malam indahnya, pria yang mati-matian menahan nafsu untuk memandang keteduhan matanya, namun siapa yang tau? Itu hanya tebakan Ustadz, Nyai dan Naufal yang lebih merasa bersalah, lalu bagaimana sebenarnya perasaan Nazwa? Wallahualambishawab. ***
Lengkap sudah, nilainya memang tak bisa di pertahankan lagi, Ip nya nyaris di bawah 3.00 , setelah kehilangan gadis yang begitu ia impikan mendampinginya setelah wisuda nanti, seorang gadis yang inginkan untuk mendengarkan curahan hatinya jika ia telah siap, kini ia harus menghadapi kenyataan pahit dengan nilai-nilai kuliahnya. Kini Nata sahabatnya diam tanpa komentar, karena ia tau Naufal tentu sudah mengerti kenapa dengan nilai-nilainya. Surat panggilan dari lembaga pemberi beasiswa Naufal mampir ketangannya, memberikan kekhawatiran baru bagi besiswa kuliah sahabatnya itu.
“apa yang harus aku lakukan” tanya Naufal sebelum hari itu berakhir. “ memberikan janji kepada mereka dengan semester depan, kamu harus bisa mencapai target IP yang mereka inginkan, hanya itu” jawab Nata sekenanya. Naufal mengerti mungkin hanya itu jalan satu-satunya 6 bulan kedepan dia harus berjuang , mencurahkan konsentrasi lebih ke kuliahnya, lalu bagaimana dengan lembaga dakwahnya lagi-lagi Nata memberi saran “ Mengundurkan diri jadi ketua bukan berarti tidak bisa aktif di dalamnya, mungkin kalau jadi ketua, kamu musti berpikir extra, karena aku tau kamu tidak bisa melepaskan tanggung jawab begitu saja” Naufal tak menjawab ia terbangun, keheningan mengiringi langkahnya menuju padasan, ia hendak melakukan sholat istikharah.
“Ya Rabb, kekuatan adalah kekuatanMU, kecerdasan adalah Milik MU, hamba yang lemah meminta petunjukMU, berkahilah setiap jalan yang hamba ambil ya Allah, ampuni atas ketidak tahuan hamba , berilah kesiapan lebih untuk hamba, amin ya Rabbal alamin” ***
Suasana rapat tegang, pemuda-pemuda kampus yang tergabung dalam lembaga dakwah itu meluapkan rasa tidak setujunya atas pengunduran diri Naufal dari ketua “ setelah kita kehilangan Nazwa, lalu kenapa justru akhi mengundurkan diri padahal kita sangat membutuhkan akhi” Naufal bagai pesakitan yang di sidang, tapi bedanya dia tidak punya pembela, mungkin ada itu hanyalah Nata, sahabat yang paling mengerti dirinya itu. Dan kali itu Nata yang juga berperan sebagai anggota lembaga dakwah dan mengikuti jalanya rapat angkat bicara “Akhi Hafidz , tentu akhi Naufal mundur karena ada alasan yang kuat, bukan hanya karena alasan kecil. Dan semua itu tidak ada hubunganya dengan kepergian Almarhumah akhwat Nazwa, ana yakin akhi Naufal akan terus berjuang bersama kita , tapi tidak dengan menjabat sebagai ketua lembaga dakwah ini, saat ini akhi Naufal membutuhkan banyak waktu luang, dan kita sebagai sahabat nya harus menghargai dan mendukungnya”
Hafidz terdiam sesaat “ lalu bagaimana dengan ketua yang baru? Apakah beliau nanti juga tidak membuthkan waktu luang seperti akhi Naufal?” pertanyaan yang mengunci pembicaraan mereka. Hening, suasana sepi seketika sampai akhirnya pembina mereka ikut bicara “ saya rasa akhi berdua ada benarnya sekarang kita dengarkan saja langsung apa yang hendak akhi Naufal katakan , kita sekarang hanya butuh ke ikhlasan, tidak dengan paksaan”
Naufal mengangkat wajahnya memandang sahabat-sahabatnya dengan seksama “ Afwan, jika ini sangat mengecewakan, keputusan ini memang bukan yang terbaik bagi kita semua tapi ana sudah membuat keputusan , ana akan terus berjuang bersama ikhwan dan akhwat sekalian, tapi tidak dengan menjabat sebagai ketua lembaga dakwah kita, masih banyak yang jauh lebih baik dari ana karena ana yakin siapapun yang akan berada di posisi ana nanti beliau jauh lebih siap, ana hanya membutuhkan pengertian dan dukungan dari ikhwan akhwat semua” suara Naufal berat terdengar namun mengakhiri rapat siang itu dengan keputusan yang sama yang ia inginkan ***
Naufal membaca sebuah kertas lusuh yang Nayla berikan tadi di kampus, setelah kelas Manajemen Keuangan berakhir , sebuah puisi.. Nazwa yang menulisnya
Rona jingga berada dalam dekapan malam yang menghitam
Serasa lelah jiwa-jiwa yang hina berlomba memahat dunia
Ruhku masih melayang , bersama bayang yang tak hilang bila ku kedipkan mata
Jiwaku masih berkelana dengan pesona ciptaan sang Maha Kuasa
Ku ingin mendekapnya dalam mimpi –mimpi yang Dia izinkan
Dalam nyata yang di halalkan
Tidak dengan kesombongan ku atau ke sok tahuanku akan hukum Nya
Ku tetap ingin memandangnya utuh , utuh tak bercela karena noda
Wahai sang pengukir jiwa yang resah
Izinkanlah ku abdikan rasa yang Maha Pengasih karuniakan
Biarkanlah ku cari hidayah dan cinta hakiki NYA dengan menyandingmu
Meski waktu masih begitu panjang kita pikirkan
Tapi ku tak yakin akan itu………..
hari ini…..
Tuk. Naufal Anwar
Nayla menemukanya di diary Nazwa , Nama itu tertulis jelas dan itu adalah namanya, Naufal menghapus lelehan bening di sudut matanya, setalah hari berlalu ternyata ia makin yakin sekretarisnya itu benar-benar menginginkanya, ah….. kenapa dia begitu lemah, takut menikah muda, padahal kalau dia mau dia bisa saja berusaha untuk mereka, bukankah ia sudah di terima mengajar di sebuah Lembaga Pendidikan? Meski dengan penghasilan apa adanya toh Nazwa juga bisa memahaminya. Tapi Allah gariskan lain, Nazwa tidak di kehendaki Nya untuk mendampinginya meski mereka telah merencanakanya, lalu siapa bidadari surga yang Allah izinkan untuk menemaninya di dunia setelah Naufal benar-benar siap, jawabanya masih tersembunyi, tersembunyi dalam garis jodoh yang Allah rahasiakan, tak khan ada yang tau, seorangpun kecuali atas kehendak Nya ***
Batam , 22 November 2007
Tiny
No comments:
Post a Comment