Aku suka menghabiskan hari liburku di sini, di pantai indah Tanjung Pinggir Batam namun sepi pengunjung, bukan karena keindahannya meragukan tapi karena fasilitas di pantai ini tidak di kembangkan.
Aku sendiri, memandang ke seberang lautan , tempat berdiri negri tetangga dengan bangunannya yang padat, cahaya mentari menyilaukan di pantulan gelombang, berdebur mengiringi sepi.
Aku sendiri? Ah tidak, aku tak pernah sendiri, yah I'm not alone, ada Allah yang mengawasi tiap gerak langkahku, dan juga dua malaikat penjaga sekaligus pencatat segala amalanku di kedua sisi kanan dan kiriku.
Mataku basah oleh air mata, meski tidak sendiri, tapi tak ku pungkiri kehampaan hati yang belum terisi, aku merindukan buah hati, bagaimana mungkin? bukankah aku belum bersuami?
Karena aku wanita, usiaku tidak lagi belia bahkan telah menginjak kepala tiga
Karena aku wanita , yang seharusnya di takdirkan menjadi seorang ibunda , mengasuh mereka dengan gelak tawa dan air mata..... haru.
Bangunan negeri Singapura berkabut, hari makin senja.
***
"Bunda Nisa" suara manja itu membuatku ternganga kaget, siapa gerangan gadis kecil yang kemudian berlari memeluk kakiku,
Aku berlutut, mengusap ubun-ubunnya yang terbungkus jilbab putih mungil.
"Sayang, kamu siapa?"
"Namaku Faiza, anak bunda, apa bunda lupa?"
"Faiza...."
Aku terbangun, lagi-lagi aku bermimpi. Ku langkahkan kakiku menuju padasan untuk berwudlu, ku jalankan sholat malam. Faiza Izdihar yang artinya Faiza = penuh kemenangan dan Izdihar = kumpulan bunga, yang bisa diartikan gadis yang secantik bunga dan penuh dengan prestasi. Itulah nama yang tersimpan dalam catatanku, nama yang ku simpan untuk putriku, untuk buah hatiku.
***
"Nisa , kamu yakin akan mengadopsi anak?" pertanyaan Rara mendapatkan jawabanku berupa anggukan mantap.
"Kamu gila yah, kamu belum bersuami, dan itu akan mempersulit dirimu mendapatkannya" aku tertawa kecil
"Bukankah kesimpulanku, kesimpulanmu, kesimpulan semua orang yang intinya kesimpulan kita semua selama ini mengatakan bahwa aku sudah kesulitan mendapatkan suami? padahal aku tidak mengadopsi anak"
"Ini bukan karena kamu putus asa khan?" lagi-lagi aku tertawa kecil, ku pegang tangan Rara, sahabat baikku yang telah memiliki suami baik hati dan dua buah hati yang bermain tak jauh dari kami. sekilas aku memandang mereka berdua yang sibuk bercengkrama dengan mainan baru yang ku bawakan atas kunjungan hari ini.
"Kamu cukup mengenalku, bahwa Nisa yang kamu kenal bukanlah tipe manusia yang rapuh dan mudah putus asa bukan? tapi setiap manusia di muka bumi ini punya hak yang sama tentang kebahagiaan, dan memiliki buah hati adalah kebahagiaanku. Aku pikir untuk saat ini memiliki anak adopsi adalah jalan satu-satunya , tentu aku tetap tidak akan melupakan kewajibanku untuk menyempurnakan setengah dien ini" kulihat senyum di wajah Rara
"kenapa kamu melakukan ini Nisa?"
"Karena aku wanita, yang punya naluriah seorang ibu, kamu mau membantuku khan Ra?"
Ia mengangguk lalu memelukku erat.
***
Ternyata untuk mengadopsi seorang anak, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, banyak persyaratan secara hukum, ini untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak, aku tentu maklum karena ini adalah prosedur yang memang melindungi hak si anak nantinya.
Tapi sebenarnya yang menjadi kendala bagiku hingga saat ini adalah sulitnya menemukan bayi yang baru berumur bulanan dalam panti asuhan yang telah kami kunjungi. Mereka, anak -anak itu rata-rata telah menginjak usia di atas satu tahun dan kebanyakan dari mereka sebenarnya masih memiliki keluarga lengkap, atau kehilangan salah satu orang tua, dan keluarga mereka termasuk dalam kategori keluarga kekurangan dalam hal materil atau kaum duafa.
Kunjungan yang ku lakukan di panti asuhan At Tamaddun di tanjung Riau dan juga panti asuhan lainnya tetaplah memiliki hasil yang nihil.
"ternyata mencari anak adopsi sama sulitnya dengan mendapat suami" aku menghela nafas di barengi tawa Rara yang merasa ucapanku sebagai lelucon. ia menyodorkan segelas jus semangka.
"Sabar donk, Nis.. kenapa harus bayi sich, bukankah kamu masih awam merawat bayi?" tanyanya
"Harus di jelasin berapa kali sich Ra..." protesku " kamu dulu juga awam merawat bayi tapi buktinya Bayu sudah se gede itu"
" iya... iya tapi...." ucapan Rara terputus oleh salam di balik pintu rumah Rara, kami menjawab salam.
Aku membiarkan Rara membuka pintu, ku buka notebook ku , ada foto bayi dengan sebuah nama Faiza Izdihar di sana.
"Nis , kenalin nich mbak Risa , istrinya rekan kerja mas Arya"
"Assalamu'alaykum, wah hampir sama namanya , sedang mengandung yach mbak? berapa bulan?" sapaku sambil memeluknya
"Wa'alaykumussalam, alhamdulillah sudah tujuh bulan, doanya mbak Nisa, oh yach ini mbak Nisa penulis itu?"
Aku memandang Rara yang tersenyum, kemudian mengangguk
"Subhanallah, saya suka tulisan mbak, apalagi Pelangi Surga" entah kenapa setiap aku menghadapi orang yang mengaku menyukai tulisanku , aku jadi gugup, ada ketakutan menjadi takabur di dada ini.
"Eh mbak Risa duduk dulu, saya ambilkan minuman sebentar" Rara meninggalkan kami berdua
"mbak , ga usah repot-repot, terima kasih" ucapan Risa sudah tidak di dengar Rara lagi.
"itu anaknya mbak? lucunya, nama faiza Izdihar nama yang indah, artinya apa yach mbak" pujinya ketika melirik notebook ku.
aku menjelaskan singkat arti nama Faiza.
"nama impian untuk anak mbak" tiba-tiba Rara nyeletuk sambil membawa segelas jus semangka juga.
"maksudnya?" Risa mengernyitkan dahi
Rara kemudian bercerita singkat setelah mendapatkan persetujuanku lewat isyarat, juga tentang kesulitan kami mendapatkan anak adopsi.
"Subhanallah... , mbak menyikapi ujian dengan tindakan yang sungguh sangat luar biasa"
"ah biasa mbak" jawabku dengan pipi bersemu dadu.
"Emm gini mbak, kata dokter, bayi saya nanti InsyaAllah perempuan, hanya saja sampai sekarang saya belum menemukan nama yang pas"
"lalu..."
"saya mau minta tolong mbak nich, punya referensi nama yang bagus ga? saya menyukai nama Faiza Izdihar mbak"
"lalu..."
"emm maksud saya" Risa merasa bersalah, ketika aku menjawab dengan ucapan agak ketus. aku menyadarinya dan segera istighfar, ah ia membutuhkan bantuanku untuk memberika nama bagi putrinya kelak, nama yang sudah ku siapkan memang bagus dan dia menyukainya. aku memaksa sebuah senyum di bibirku
"mbak meminta nama ini?" tanyaku langsung, terlihat Risa makin merasa bersalah dan kebingungan untuk menjawab.
"ah maaf mbak, saya..."
"tidak apa mbak Risa, nama untuk anak adalah sebuah do'a, tentu saya akan sangat bangga bisa menyumbangkan sebuah nama untuk putri mbak" ujarku mencairkan suasana yang membeku. ku lihat senyum di wajah Risa dan Rara
"tapi mau bayar berapa nich? " candaku membuat kami tergelak.
Kembali suara salam terdengar, kami menjawabnya.
"tuch mas Arya udah pulang" ujar Rara, aku melirik jam tangan sudah pukul 5 lebih , seharusnya aku sudah berada di rumah. segera ku berbenah.
"Wah lagi rame nich, ada arisan yach?" guyonan mas Arya terdengar, ternyata Mas Arya bersama teman kantornya yang ternyata suami Risa, bahagianya mereka, sempat terbersit rasa iri.
"Mas, tebak Risa dapat hadiah apa dari mbak Nisa?, kita dapat nama untuk putri kita nich, nama yang sangat bagus" ujar Risa berseri kepada suaminya membuatku bersemu.
"Wah.. terima kasih mbak"
Aku tersenyum tipis dan mengangguk, dan perkenalan singkat itu berakhir dengan kulepaskan nama idamanku.
***
Sudah hampir tiga bulan kami berikhtiar, tapi tidak menemukan juga anak adopsi yang pas, atau aku yang terlalu memilih dan memilah atau karena aku harus lebih memaksimalkan kadar keikhlasan sehingga tidak hanya mementingkan kebahagiaanku sendiri namun juga sesama yang membutuhkan.
Petang dengan hiasan kelam beranjak menyelimuti bumi, aku bersandar pada kursi kerjaku, ada cerpen yang ingin ku selesaikan, tapi dering telpon di sebelah Notebook ku membuyarkan konsentrasi
"Assalamu'alaykum" sapaku
"Wa'alaykumusalam, Nisa lagi ngapain?"
"eh Ra, biasa nulis, kenapa Ra?"
"ada kabar duka dari Risa, kamu ingat dia khan?
"Risa......... oh iya, yang hamil itu khan? kabar duka apa Ra?"
"Ia meninggal dunia pas melahirkan putri nya, tapi sekarang mereka udah ga di Batam lagi, udah di kampung halaman"
"Innalillahi wa innailaihi Roji'un, putri nya gimana? sehat khan?"
"iya alhamdulillah, ya udah mau ngasih tau kabar itu aja , Wassalamu'alaykum"
Rara memutuskan sambungan telpon setelah aku menjawab salam, sejenak aku tercenung , teringat sebuah nama yang di minta oleh Risa, akankah nama itu tetap ia berikan pada putri kecil yang telah jadi piatu dengan kehilangannya? ah.. bukankah aku sudah mengikhlaskan nama itu. tapi mimpi -mimpi yang pernah menghiasi tidurnya dengan kehadiran Faiza itulah yang terkadang menumbuhkan harapan besar akan hadirnya buah hati sesegera mungkin.
***
Debar- debar di hatiku tak kuasa ku sembunyikan, entah kenapa mataku berkaca-kaca , beberapa kali Rara menggenggam erat tanganku dan tersenyum manis, kami sedang berada di Panti Asuhan untuk menunggu pengurus panti membawa bayi yang akan aku angkat menjadi anak ku.
Dua hari lalu mereka menelpon , bahwa mereka memiliki bayi yang tanpa orang tua, bayi itu berumur sekitar 2 bulanan, di kirim oleh sanak keluarga yang mengatakan bahwa kedua orang tuanya telah meninggal karena kecelakaan, setelah mengurus kelengkapan surat dan perizinan akan permohonan adopsi anak, awalnya memang sulit, karena untuk mengadposi anak haruslah yang sudah menikah, tapi di dasarkan pada kemampuan ekonomiku , akhirnya pengadopsian itu di setujui.
Senyum ustadzah Sukma menyapa kami, setelah sedikit berbasa-basi beliau mulai menanyakan kesiapanku dan kesungguhanku
"bukan saya meragukan, tapi sekali lagi nak Anisa harus benar-benar punya ketetapan hati tentang ini, nak Anisa harus benar-benar paham bagaimana prosedur pengangkatan anak dalam Islam, dan hukum-hukum yang mengaturnya" aku mengangguk paham
"nak Anisa tentu juga paham khan bagaimana peliknya mengurus anak yang terkadang memang membutuhkan kesabaran yang ekstra" aku mengangguk lagi, dan aku harus sabar mendengarkan Ustadzah Sukma
"akan lebih baik jika Nak Anisa mendapatkan suami lebih dulu..."
"Ustadzah, apakah ustadzah masih meragukan kemampuan ekonomi saya?" tiba-tiba ucapanku memotong kata-kata nasihatnya, dan aku menyesalinya, namun aku melihat senyum di bibir Ustadzah.
"baiklah, sebentar yach , saya bawa bayinya ke sini" aku cepat mengangguk mengiyakan, tadi ku pikir beliau langsung keluar bersama bayinya tapi ternyata tidak, masih serupa nasihat-nasihat yang membuatku harus bersabar.
Tidak berapa lama, akhirnya ikhtiar kami terjawab sudah, di sana di pelukannya ada bayi mungil yang menggeliat, mataku basah, aku terharu, benarkah dia akan kuasuh dan menjadi anakku, aku berdiri menyongsongnya di ikuti oleh Rara.
Ku lafalkan basmallah ketika pertama menggendongnya, debar jantungku mereda, ada kesejukan ketika memeluknya,
"namanya Ayu, tapi terserah nak Anisa kalau ingin merubahnya" aku mengangguk, tanpa suara, masih mengenang syukur yang ku panjatkan, bibir nya yang basah, pipinya yang tembem sedikit memerah, rambutnya yang tumbuh sedikit, matanya mengerjab, namun terpejam lagi , ah barusan kami mengganggu tidurnya.
aku menamainya Ayu Nuha Qubillah. yang kuharapkan ia kelak akan menjadi gadis yang Ayu, Cerdas dan hidup dalam kedamaian , amin.
***
Azan di masjid Nurul Ihsan membuatku terjaga, aku hampir tidak tidur semalaman , karena Nuha menangis dan terbangun hampir tiap jam, untung mbak Layla juga ikut terjaga, sehingga aku tidak begitu kerepotan, mbak Layla lebih berpengalaman menenangkan anak dari pada aku, memang tidak mudah mengasuh bayi, meski itu adalah aku, wanita yang bernaluri menjadi seorang ibu.
Kupandangi Nuha, ia telah menjai belahan jiwaku dua minggu terakhir ,ia tampak nyenyak aku beranjak meninggalkannya untuk memenuhi Seruan Ilahi, lalu melaksanakan tugas harianku, belakangan aku sulit konsentrasi menulis, sehingga aku biasa menyempatkan selepas subuh. baru setelah itu membantu mbak Layla menyiapkan sarapan untuk kami , juga membersihkan rumah, hingga memandikan Nuha dan kemudian bercanda dengannya.
"Amah yang punya Nuha, sudah lupa sama Bayu dan ade yach" sms dari nomor Rara , aku tertawa kecil , Rara bisa aja.
"Ra.. main kesini donk, jagain Nuha, aku mau nulis neh" balasku
"iya, kami mau kesana, mau liat si kecil udah bisa ngapain sampai Bunda nya lupa ma kewajiban mencari suami" candaan Rara lagi-lagi membuatku tertawa. Aku memang sudah berkonsentrasi dengan Nuha, usiaku yang sudah menginjak 33 tahun membuatku pasrah tentang jodoh.
Tidak membutuhkan waktu lama, ketika kemudian Rara dan kedua buah hatinya sudah menyemarakan rumahku. aku benar-benar bersyukur atas karunia Nya, namun tiba-tiba telpon dari Ustadzah Sukma mengusik.
"akan ada yang bertamu kerumah, ibu minta maaf nak" begitu ungkap beliau, aku berusaha untuk menekan berbagai prasangka, hingga ku jumpai tamu ku yang mengaku pasangan suami istri di hadapanku.
"baru saja ustadzah Sukma menelepon , kata beliau saya akan kedatangan tamu, apakah mbak dan mas ini?" ujarku langsung, mereka tersenyum
"sebelumnya saya mohon maaf , kalu kedatangan saya ini mungkin akan membawa sedikit kabar buruk kepada mbak Nisa" aku mengernyitkan dahi
"maksud mbak?"
"kami adalah orang tua kandung Ayu, bayi yang mbak adopsi" suara pelan itu membuatku ternganga, belum sempat aku bertanya ia sudah melanjutkan ceritanya , cerita yang membuat hatiku teriris-iris , aku akan kehilangan Nuha, anak yang ku tunggu selama setahun terakhir. aku menggeleng tidak percaya, bagaimana mungkin orang tua Nuha masih hidup dan sehat walafiat di hadapanku, Rara sudah berada di sampingku, memeluk bahuku.
"saya mohon kerelaan mbak, kami orang tua kandung Ayu yang sudah di paksa berpisah dengannya, ini adalah kesalah pahaman orang tua saya mbak" aku tidak bisa membendung air mataku seperti halnya ibu kandung Ayu yang juga sudah berkali-kali mengusap air matanya.
Aku menggeleng pelan, ku dustai apa yang mereka sodorkan, akte kelahiran Nuha, juga surat nikah mereka sebagai orang tua Nuha, Rara membantu memeriksanya, dan ia hanya menganggukan kepala.
"saya akan tetap memperjuangkan Ayu , meski pengadilan yang harus kami tempuh, tapi saya benar-benar meminta ke mbak Nisa, saya janji mbak bisa mengunjungi Ayu kapanpun mbak mau, kami hanya ingin menyelesaikan masalah ini secara damai.
Aku menelepon ustadzah Sukma , permohonan maafnya membuatku trenyuh sekaligus sangat terluka.
Aku mencintai Ayu Nuha Qubillah.
***
Aku sendiri, menghabiskan liburanku di tempat yang sama, aku merindukan bayi itu, yang ku peluk dan selama dua minggu tidak pernah ku tinggalkan kemana-mana.
Akankah aku hidup sendirian, untuk mengadopsi anak harus mengalami ujian sama beratnya dengan gagalnya menjadi mempelai hingga berkali-kali.
"bersabarlah Nisa, kita harus yakin bahwa rencana Allah itu teramat indah" ucapan Rara jelas terngiang di telinga , aku terpekur sayu.
suara dering HP ku membuyarkan lamunan, "Assalamu'alaykum" sapaku ke Rara di ujung sana.
"Wa'alaykumussalam, Nisa ada yang ingin bertemu denganmu, kami akan mengunjungi rumahmu nanti malam"
"siapa Ra?"
"nanti malam saja"
"baiklah"
***
Rara berkunjung bersama suaminya dan kedua anak mereka, tidak hanya itu bersama nya juga datang seorang pria yang sepertinya pernah ku kenal namun aku lupa siapa dia, yang juga membawa baby sister dengan seorang anak kecil.
"Apa ini?" tanyaku ke Rara, ia hanya tersenyum,
"bacalah" ujar Rara,
Dear mbak Anisa,
Assalamu'alaykum,
Saat mbak membaca surat ini, Wallahu'alam apa yang telah terjadi pada diriku, tapi sepertinya benar saya telah meninggalkan suami dan putriku, semoga suamiku tidak terlambat menyerahkan surat ini
Aku berhenti sejenak, memandang pria yang ternyata suami Risa dan juga anak yang ada di pangkuannya
Saya sangat bahagia, ketika mbak memberikan nama Faiza Izdihar kepadaku, dan saya telah memberikannya kepada putriku lihatlah apa dia mirip denganku? namanya adalah Faiza Izdihar Pratama , Pratama saya ambil dari nama abi nya.
Mbak Anisa,
sebenarnya setelah pertemuan kita siang itu , ada terbersit keinginan di hati ini untuk berbagi dengan mbak, namun ternyata kadar keikhlasan di hati saya untuk bisa berbagi suami sangat tipis, saya juga tau besarnya cinta suami ke saya.
Keinginan saya sangat besar untuk melahirkan putri saya, apalagi keinginan untuk membesarkan dan merawatnya , tapi benar bahwa kemampuan manusia itu kecil, benar bahwa Allah mengetahui yang terbaik untuk hamba Nya.
saya juga tau benar , resiko saya melahirkan adalah kemudian meninggalkannya, karena dokter sudah memperingatkan akan bahaya bagi saya untuk mengandung, namun seperti halnya ibu lainnya, saya rela kehilangan nyawa untuk benih kehidupan yang sudah bersemi di rahim saya.
Mbak Anisa,
saya tidak tau apakah ini pantas atau tidak, saya dan suami mohon maaf jikalau ini sangat mengganggu , sungguh saya hanya memiliki keinginan yang lagi-lagi saya berharap mbak mau mengabulkannya.
Menikahlah dengan mas Pram, suami saya mbak, jadilah ibu Faiza, karena saya tau , anak saya akan sangat beruntung jika bisa memiliki bunda sebaik mbak.
Hanya ini permintaan terakhir saya, semoga suami saya benar-benar belum terlambat.
Satu Rahasia, suami saya sangat baik hati dan penuh cinta, ketika ia menyerahkan surat ini, saya yakin dia sudah menumbuhkan cintanya untuk mbak Nisa, percayalah.
Syukran
Wassalamu'alaykum
Risa (Uminya Faiza)
Aku terisak, Rara memeluk bahuku, keheningan itu sulit untuk di pecahkan hingga ketika suara pria itu terdengar
"kami menginginkan jawaban, saya memikirkannya selama satu tahun, dan tentu saja mbak berhak memikirkannya juga selama yang mbak tentukan, asal jangan satu tahun juga"
Aku mengangguk, "bolehkah saya meminta sesuatu?"
"katakanlah"
"saya ingin akad nikah di laksanakan esok, dan sekarang saya ingin memeluk Faiza" terdengar mereka tertawa, Rara mengambil Faiza dari pangkuan mas Pram, dan menyerahkan nya kepadaku.
Gadis kecil berumur satu tahun itu tidak menolak, jilbab putihnya persis di mimpiku, aku memeluknya erat, ungkapan syukur ku panjatkan.
Rara menangis di sampingku.
"kenapa mengangis?" tanyaku padanya
"Karena aku wanita, yang punya jiwa lembut, apalagi menyaksikan hal yang paling mengharukan seumur hidupku".
Aku tersenyum, memeluk erat Faiza Izdihar Pratama yang juga memeluk ku.
***
Batam, 19 May 2009
Tiny
Aku sendiri, memandang ke seberang lautan , tempat berdiri negri tetangga dengan bangunannya yang padat, cahaya mentari menyilaukan di pantulan gelombang, berdebur mengiringi sepi.
Aku sendiri? Ah tidak, aku tak pernah sendiri, yah I'm not alone, ada Allah yang mengawasi tiap gerak langkahku, dan juga dua malaikat penjaga sekaligus pencatat segala amalanku di kedua sisi kanan dan kiriku.
Mataku basah oleh air mata, meski tidak sendiri, tapi tak ku pungkiri kehampaan hati yang belum terisi, aku merindukan buah hati, bagaimana mungkin? bukankah aku belum bersuami?
Karena aku wanita, usiaku tidak lagi belia bahkan telah menginjak kepala tiga
Karena aku wanita , yang seharusnya di takdirkan menjadi seorang ibunda , mengasuh mereka dengan gelak tawa dan air mata..... haru.
Bangunan negeri Singapura berkabut, hari makin senja.
***
"Bunda Nisa" suara manja itu membuatku ternganga kaget, siapa gerangan gadis kecil yang kemudian berlari memeluk kakiku,
Aku berlutut, mengusap ubun-ubunnya yang terbungkus jilbab putih mungil.
"Sayang, kamu siapa?"
"Namaku Faiza, anak bunda, apa bunda lupa?"
"Faiza...."
Aku terbangun, lagi-lagi aku bermimpi. Ku langkahkan kakiku menuju padasan untuk berwudlu, ku jalankan sholat malam. Faiza Izdihar yang artinya Faiza = penuh kemenangan dan Izdihar = kumpulan bunga, yang bisa diartikan gadis yang secantik bunga dan penuh dengan prestasi. Itulah nama yang tersimpan dalam catatanku, nama yang ku simpan untuk putriku, untuk buah hatiku.
***
"Nisa , kamu yakin akan mengadopsi anak?" pertanyaan Rara mendapatkan jawabanku berupa anggukan mantap.
"Kamu gila yah, kamu belum bersuami, dan itu akan mempersulit dirimu mendapatkannya" aku tertawa kecil
"Bukankah kesimpulanku, kesimpulanmu, kesimpulan semua orang yang intinya kesimpulan kita semua selama ini mengatakan bahwa aku sudah kesulitan mendapatkan suami? padahal aku tidak mengadopsi anak"
"Ini bukan karena kamu putus asa khan?" lagi-lagi aku tertawa kecil, ku pegang tangan Rara, sahabat baikku yang telah memiliki suami baik hati dan dua buah hati yang bermain tak jauh dari kami. sekilas aku memandang mereka berdua yang sibuk bercengkrama dengan mainan baru yang ku bawakan atas kunjungan hari ini.
"Kamu cukup mengenalku, bahwa Nisa yang kamu kenal bukanlah tipe manusia yang rapuh dan mudah putus asa bukan? tapi setiap manusia di muka bumi ini punya hak yang sama tentang kebahagiaan, dan memiliki buah hati adalah kebahagiaanku. Aku pikir untuk saat ini memiliki anak adopsi adalah jalan satu-satunya , tentu aku tetap tidak akan melupakan kewajibanku untuk menyempurnakan setengah dien ini" kulihat senyum di wajah Rara
"kenapa kamu melakukan ini Nisa?"
"Karena aku wanita, yang punya naluriah seorang ibu, kamu mau membantuku khan Ra?"
Ia mengangguk lalu memelukku erat.
***
Ternyata untuk mengadopsi seorang anak, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, banyak persyaratan secara hukum, ini untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak, aku tentu maklum karena ini adalah prosedur yang memang melindungi hak si anak nantinya.
Tapi sebenarnya yang menjadi kendala bagiku hingga saat ini adalah sulitnya menemukan bayi yang baru berumur bulanan dalam panti asuhan yang telah kami kunjungi. Mereka, anak -anak itu rata-rata telah menginjak usia di atas satu tahun dan kebanyakan dari mereka sebenarnya masih memiliki keluarga lengkap, atau kehilangan salah satu orang tua, dan keluarga mereka termasuk dalam kategori keluarga kekurangan dalam hal materil atau kaum duafa.
Kunjungan yang ku lakukan di panti asuhan At Tamaddun di tanjung Riau dan juga panti asuhan lainnya tetaplah memiliki hasil yang nihil.
"ternyata mencari anak adopsi sama sulitnya dengan mendapat suami" aku menghela nafas di barengi tawa Rara yang merasa ucapanku sebagai lelucon. ia menyodorkan segelas jus semangka.
"Sabar donk, Nis.. kenapa harus bayi sich, bukankah kamu masih awam merawat bayi?" tanyanya
"Harus di jelasin berapa kali sich Ra..." protesku " kamu dulu juga awam merawat bayi tapi buktinya Bayu sudah se gede itu"
" iya... iya tapi...." ucapan Rara terputus oleh salam di balik pintu rumah Rara, kami menjawab salam.
Aku membiarkan Rara membuka pintu, ku buka notebook ku , ada foto bayi dengan sebuah nama Faiza Izdihar di sana.
"Nis , kenalin nich mbak Risa , istrinya rekan kerja mas Arya"
"Assalamu'alaykum, wah hampir sama namanya , sedang mengandung yach mbak? berapa bulan?" sapaku sambil memeluknya
"Wa'alaykumussalam, alhamdulillah sudah tujuh bulan, doanya mbak Nisa, oh yach ini mbak Nisa penulis itu?"
Aku memandang Rara yang tersenyum, kemudian mengangguk
"Subhanallah, saya suka tulisan mbak, apalagi Pelangi Surga" entah kenapa setiap aku menghadapi orang yang mengaku menyukai tulisanku , aku jadi gugup, ada ketakutan menjadi takabur di dada ini.
"Eh mbak Risa duduk dulu, saya ambilkan minuman sebentar" Rara meninggalkan kami berdua
"mbak , ga usah repot-repot, terima kasih" ucapan Risa sudah tidak di dengar Rara lagi.
"itu anaknya mbak? lucunya, nama faiza Izdihar nama yang indah, artinya apa yach mbak" pujinya ketika melirik notebook ku.
aku menjelaskan singkat arti nama Faiza.
"nama impian untuk anak mbak" tiba-tiba Rara nyeletuk sambil membawa segelas jus semangka juga.
"maksudnya?" Risa mengernyitkan dahi
Rara kemudian bercerita singkat setelah mendapatkan persetujuanku lewat isyarat, juga tentang kesulitan kami mendapatkan anak adopsi.
"Subhanallah... , mbak menyikapi ujian dengan tindakan yang sungguh sangat luar biasa"
"ah biasa mbak" jawabku dengan pipi bersemu dadu.
"Emm gini mbak, kata dokter, bayi saya nanti InsyaAllah perempuan, hanya saja sampai sekarang saya belum menemukan nama yang pas"
"lalu..."
"saya mau minta tolong mbak nich, punya referensi nama yang bagus ga? saya menyukai nama Faiza Izdihar mbak"
"lalu..."
"emm maksud saya" Risa merasa bersalah, ketika aku menjawab dengan ucapan agak ketus. aku menyadarinya dan segera istighfar, ah ia membutuhkan bantuanku untuk memberika nama bagi putrinya kelak, nama yang sudah ku siapkan memang bagus dan dia menyukainya. aku memaksa sebuah senyum di bibirku
"mbak meminta nama ini?" tanyaku langsung, terlihat Risa makin merasa bersalah dan kebingungan untuk menjawab.
"ah maaf mbak, saya..."
"tidak apa mbak Risa, nama untuk anak adalah sebuah do'a, tentu saya akan sangat bangga bisa menyumbangkan sebuah nama untuk putri mbak" ujarku mencairkan suasana yang membeku. ku lihat senyum di wajah Risa dan Rara
"tapi mau bayar berapa nich? " candaku membuat kami tergelak.
Kembali suara salam terdengar, kami menjawabnya.
"tuch mas Arya udah pulang" ujar Rara, aku melirik jam tangan sudah pukul 5 lebih , seharusnya aku sudah berada di rumah. segera ku berbenah.
"Wah lagi rame nich, ada arisan yach?" guyonan mas Arya terdengar, ternyata Mas Arya bersama teman kantornya yang ternyata suami Risa, bahagianya mereka, sempat terbersit rasa iri.
"Mas, tebak Risa dapat hadiah apa dari mbak Nisa?, kita dapat nama untuk putri kita nich, nama yang sangat bagus" ujar Risa berseri kepada suaminya membuatku bersemu.
"Wah.. terima kasih mbak"
Aku tersenyum tipis dan mengangguk, dan perkenalan singkat itu berakhir dengan kulepaskan nama idamanku.
***
Sudah hampir tiga bulan kami berikhtiar, tapi tidak menemukan juga anak adopsi yang pas, atau aku yang terlalu memilih dan memilah atau karena aku harus lebih memaksimalkan kadar keikhlasan sehingga tidak hanya mementingkan kebahagiaanku sendiri namun juga sesama yang membutuhkan.
Petang dengan hiasan kelam beranjak menyelimuti bumi, aku bersandar pada kursi kerjaku, ada cerpen yang ingin ku selesaikan, tapi dering telpon di sebelah Notebook ku membuyarkan konsentrasi
"Assalamu'alaykum" sapaku
"Wa'alaykumusalam, Nisa lagi ngapain?"
"eh Ra, biasa nulis, kenapa Ra?"
"ada kabar duka dari Risa, kamu ingat dia khan?
"Risa......... oh iya, yang hamil itu khan? kabar duka apa Ra?"
"Ia meninggal dunia pas melahirkan putri nya, tapi sekarang mereka udah ga di Batam lagi, udah di kampung halaman"
"Innalillahi wa innailaihi Roji'un, putri nya gimana? sehat khan?"
"iya alhamdulillah, ya udah mau ngasih tau kabar itu aja , Wassalamu'alaykum"
Rara memutuskan sambungan telpon setelah aku menjawab salam, sejenak aku tercenung , teringat sebuah nama yang di minta oleh Risa, akankah nama itu tetap ia berikan pada putri kecil yang telah jadi piatu dengan kehilangannya? ah.. bukankah aku sudah mengikhlaskan nama itu. tapi mimpi -mimpi yang pernah menghiasi tidurnya dengan kehadiran Faiza itulah yang terkadang menumbuhkan harapan besar akan hadirnya buah hati sesegera mungkin.
***
Debar- debar di hatiku tak kuasa ku sembunyikan, entah kenapa mataku berkaca-kaca , beberapa kali Rara menggenggam erat tanganku dan tersenyum manis, kami sedang berada di Panti Asuhan untuk menunggu pengurus panti membawa bayi yang akan aku angkat menjadi anak ku.
Dua hari lalu mereka menelpon , bahwa mereka memiliki bayi yang tanpa orang tua, bayi itu berumur sekitar 2 bulanan, di kirim oleh sanak keluarga yang mengatakan bahwa kedua orang tuanya telah meninggal karena kecelakaan, setelah mengurus kelengkapan surat dan perizinan akan permohonan adopsi anak, awalnya memang sulit, karena untuk mengadposi anak haruslah yang sudah menikah, tapi di dasarkan pada kemampuan ekonomiku , akhirnya pengadopsian itu di setujui.
Senyum ustadzah Sukma menyapa kami, setelah sedikit berbasa-basi beliau mulai menanyakan kesiapanku dan kesungguhanku
"bukan saya meragukan, tapi sekali lagi nak Anisa harus benar-benar punya ketetapan hati tentang ini, nak Anisa harus benar-benar paham bagaimana prosedur pengangkatan anak dalam Islam, dan hukum-hukum yang mengaturnya" aku mengangguk paham
"nak Anisa tentu juga paham khan bagaimana peliknya mengurus anak yang terkadang memang membutuhkan kesabaran yang ekstra" aku mengangguk lagi, dan aku harus sabar mendengarkan Ustadzah Sukma
"akan lebih baik jika Nak Anisa mendapatkan suami lebih dulu..."
"Ustadzah, apakah ustadzah masih meragukan kemampuan ekonomi saya?" tiba-tiba ucapanku memotong kata-kata nasihatnya, dan aku menyesalinya, namun aku melihat senyum di bibir Ustadzah.
"baiklah, sebentar yach , saya bawa bayinya ke sini" aku cepat mengangguk mengiyakan, tadi ku pikir beliau langsung keluar bersama bayinya tapi ternyata tidak, masih serupa nasihat-nasihat yang membuatku harus bersabar.
Tidak berapa lama, akhirnya ikhtiar kami terjawab sudah, di sana di pelukannya ada bayi mungil yang menggeliat, mataku basah, aku terharu, benarkah dia akan kuasuh dan menjadi anakku, aku berdiri menyongsongnya di ikuti oleh Rara.
Ku lafalkan basmallah ketika pertama menggendongnya, debar jantungku mereda, ada kesejukan ketika memeluknya,
"namanya Ayu, tapi terserah nak Anisa kalau ingin merubahnya" aku mengangguk, tanpa suara, masih mengenang syukur yang ku panjatkan, bibir nya yang basah, pipinya yang tembem sedikit memerah, rambutnya yang tumbuh sedikit, matanya mengerjab, namun terpejam lagi , ah barusan kami mengganggu tidurnya.
aku menamainya Ayu Nuha Qubillah. yang kuharapkan ia kelak akan menjadi gadis yang Ayu, Cerdas dan hidup dalam kedamaian , amin.
***
Azan di masjid Nurul Ihsan membuatku terjaga, aku hampir tidak tidur semalaman , karena Nuha menangis dan terbangun hampir tiap jam, untung mbak Layla juga ikut terjaga, sehingga aku tidak begitu kerepotan, mbak Layla lebih berpengalaman menenangkan anak dari pada aku, memang tidak mudah mengasuh bayi, meski itu adalah aku, wanita yang bernaluri menjadi seorang ibu.
Kupandangi Nuha, ia telah menjai belahan jiwaku dua minggu terakhir ,ia tampak nyenyak aku beranjak meninggalkannya untuk memenuhi Seruan Ilahi, lalu melaksanakan tugas harianku, belakangan aku sulit konsentrasi menulis, sehingga aku biasa menyempatkan selepas subuh. baru setelah itu membantu mbak Layla menyiapkan sarapan untuk kami , juga membersihkan rumah, hingga memandikan Nuha dan kemudian bercanda dengannya.
"Amah yang punya Nuha, sudah lupa sama Bayu dan ade yach" sms dari nomor Rara , aku tertawa kecil , Rara bisa aja.
"Ra.. main kesini donk, jagain Nuha, aku mau nulis neh" balasku
"iya, kami mau kesana, mau liat si kecil udah bisa ngapain sampai Bunda nya lupa ma kewajiban mencari suami" candaan Rara lagi-lagi membuatku tertawa. Aku memang sudah berkonsentrasi dengan Nuha, usiaku yang sudah menginjak 33 tahun membuatku pasrah tentang jodoh.
Tidak membutuhkan waktu lama, ketika kemudian Rara dan kedua buah hatinya sudah menyemarakan rumahku. aku benar-benar bersyukur atas karunia Nya, namun tiba-tiba telpon dari Ustadzah Sukma mengusik.
"akan ada yang bertamu kerumah, ibu minta maaf nak" begitu ungkap beliau, aku berusaha untuk menekan berbagai prasangka, hingga ku jumpai tamu ku yang mengaku pasangan suami istri di hadapanku.
"baru saja ustadzah Sukma menelepon , kata beliau saya akan kedatangan tamu, apakah mbak dan mas ini?" ujarku langsung, mereka tersenyum
"sebelumnya saya mohon maaf , kalu kedatangan saya ini mungkin akan membawa sedikit kabar buruk kepada mbak Nisa" aku mengernyitkan dahi
"maksud mbak?"
"kami adalah orang tua kandung Ayu, bayi yang mbak adopsi" suara pelan itu membuatku ternganga, belum sempat aku bertanya ia sudah melanjutkan ceritanya , cerita yang membuat hatiku teriris-iris , aku akan kehilangan Nuha, anak yang ku tunggu selama setahun terakhir. aku menggeleng tidak percaya, bagaimana mungkin orang tua Nuha masih hidup dan sehat walafiat di hadapanku, Rara sudah berada di sampingku, memeluk bahuku.
"saya mohon kerelaan mbak, kami orang tua kandung Ayu yang sudah di paksa berpisah dengannya, ini adalah kesalah pahaman orang tua saya mbak" aku tidak bisa membendung air mataku seperti halnya ibu kandung Ayu yang juga sudah berkali-kali mengusap air matanya.
Aku menggeleng pelan, ku dustai apa yang mereka sodorkan, akte kelahiran Nuha, juga surat nikah mereka sebagai orang tua Nuha, Rara membantu memeriksanya, dan ia hanya menganggukan kepala.
"saya akan tetap memperjuangkan Ayu , meski pengadilan yang harus kami tempuh, tapi saya benar-benar meminta ke mbak Nisa, saya janji mbak bisa mengunjungi Ayu kapanpun mbak mau, kami hanya ingin menyelesaikan masalah ini secara damai.
Aku menelepon ustadzah Sukma , permohonan maafnya membuatku trenyuh sekaligus sangat terluka.
Aku mencintai Ayu Nuha Qubillah.
***
Aku sendiri, menghabiskan liburanku di tempat yang sama, aku merindukan bayi itu, yang ku peluk dan selama dua minggu tidak pernah ku tinggalkan kemana-mana.
Akankah aku hidup sendirian, untuk mengadopsi anak harus mengalami ujian sama beratnya dengan gagalnya menjadi mempelai hingga berkali-kali.
"bersabarlah Nisa, kita harus yakin bahwa rencana Allah itu teramat indah" ucapan Rara jelas terngiang di telinga , aku terpekur sayu.
suara dering HP ku membuyarkan lamunan, "Assalamu'alaykum" sapaku ke Rara di ujung sana.
"Wa'alaykumussalam, Nisa ada yang ingin bertemu denganmu, kami akan mengunjungi rumahmu nanti malam"
"siapa Ra?"
"nanti malam saja"
"baiklah"
***
Rara berkunjung bersama suaminya dan kedua anak mereka, tidak hanya itu bersama nya juga datang seorang pria yang sepertinya pernah ku kenal namun aku lupa siapa dia, yang juga membawa baby sister dengan seorang anak kecil.
"Apa ini?" tanyaku ke Rara, ia hanya tersenyum,
"bacalah" ujar Rara,
Dear mbak Anisa,
Assalamu'alaykum,
Saat mbak membaca surat ini, Wallahu'alam apa yang telah terjadi pada diriku, tapi sepertinya benar saya telah meninggalkan suami dan putriku, semoga suamiku tidak terlambat menyerahkan surat ini
Aku berhenti sejenak, memandang pria yang ternyata suami Risa dan juga anak yang ada di pangkuannya
Saya sangat bahagia, ketika mbak memberikan nama Faiza Izdihar kepadaku, dan saya telah memberikannya kepada putriku lihatlah apa dia mirip denganku? namanya adalah Faiza Izdihar Pratama , Pratama saya ambil dari nama abi nya.
Mbak Anisa,
sebenarnya setelah pertemuan kita siang itu , ada terbersit keinginan di hati ini untuk berbagi dengan mbak, namun ternyata kadar keikhlasan di hati saya untuk bisa berbagi suami sangat tipis, saya juga tau besarnya cinta suami ke saya.
Keinginan saya sangat besar untuk melahirkan putri saya, apalagi keinginan untuk membesarkan dan merawatnya , tapi benar bahwa kemampuan manusia itu kecil, benar bahwa Allah mengetahui yang terbaik untuk hamba Nya.
saya juga tau benar , resiko saya melahirkan adalah kemudian meninggalkannya, karena dokter sudah memperingatkan akan bahaya bagi saya untuk mengandung, namun seperti halnya ibu lainnya, saya rela kehilangan nyawa untuk benih kehidupan yang sudah bersemi di rahim saya.
Mbak Anisa,
saya tidak tau apakah ini pantas atau tidak, saya dan suami mohon maaf jikalau ini sangat mengganggu , sungguh saya hanya memiliki keinginan yang lagi-lagi saya berharap mbak mau mengabulkannya.
Menikahlah dengan mas Pram, suami saya mbak, jadilah ibu Faiza, karena saya tau , anak saya akan sangat beruntung jika bisa memiliki bunda sebaik mbak.
Hanya ini permintaan terakhir saya, semoga suami saya benar-benar belum terlambat.
Satu Rahasia, suami saya sangat baik hati dan penuh cinta, ketika ia menyerahkan surat ini, saya yakin dia sudah menumbuhkan cintanya untuk mbak Nisa, percayalah.
Syukran
Wassalamu'alaykum
Risa (Uminya Faiza)
Aku terisak, Rara memeluk bahuku, keheningan itu sulit untuk di pecahkan hingga ketika suara pria itu terdengar
"kami menginginkan jawaban, saya memikirkannya selama satu tahun, dan tentu saja mbak berhak memikirkannya juga selama yang mbak tentukan, asal jangan satu tahun juga"
Aku mengangguk, "bolehkah saya meminta sesuatu?"
"katakanlah"
"saya ingin akad nikah di laksanakan esok, dan sekarang saya ingin memeluk Faiza" terdengar mereka tertawa, Rara mengambil Faiza dari pangkuan mas Pram, dan menyerahkan nya kepadaku.
Gadis kecil berumur satu tahun itu tidak menolak, jilbab putihnya persis di mimpiku, aku memeluknya erat, ungkapan syukur ku panjatkan.
Rara menangis di sampingku.
"kenapa mengangis?" tanyaku padanya
"Karena aku wanita, yang punya jiwa lembut, apalagi menyaksikan hal yang paling mengharukan seumur hidupku".
Aku tersenyum, memeluk erat Faiza Izdihar Pratama yang juga memeluk ku.
***
Batam, 19 May 2009
Tiny
aslkm. apakah ini cerita rekaan atau nyata.sungguh mengharukan
ReplyDeleteWa'alaykumsalam wr wb , maaf pak itu karangan (cerpen) saya :)
ReplyDelete