Assalamu'alaykum, selamat datang di blog sederhana saya, selamat membaca! silahkan berkomentar & tinggalkan link anda untuk di kunjungi, terima kasih

Thursday, 25 March 2010

Bumbu Cinta Masakan Umi

By. Tini

Cerpen ini di ilhami oleh ungkapan seseorang yang saya hormati , Ibu dari adik-adik saya Rani, Mutya, dan Raihan. Di dedikasikan untuk ibu yang telah melahirkan saya dan untuk seluruh Ibu di dunia yang memberikan bumbu cinta pada setiap masakan untuk keluarga tercinta

"Umi , umi hali ini macak apa"
Itu yang sering ku dengar dari bibir mungil adik bungsuku adalah adikku satu-satunya, yang ibarat berjalan gaya bicaranya masih tertatih-tatih.. Dan seperti biasa umi akan menunjukan sebuah gambar yang melekat pada majalah resep masakan kesukaan beliau

"Ayam goreeeng" begitu sorak umi kami sambil tertawa
"Hoyeeee, ayam goyeng" dan sibungsupun ikut tertawa memeluk umi penuh kasih, yang kutau memang itulah makanan kesukaannya, meski ia selalu bersemangat terhadap semua masakan umi. Dan setelah itu mereka akan bercanda sambil menyiapkan menu, sedangkan aku masih tak berniat beranjak, tugasku adalah belajar, belajar dan belajar , tapi tidak untuk belajar memasak.
***


"Umi, hari ini Abi pulang, kita masak apa ya?" begitu tanya adik bungsuku kala ia sudah duduk di kelas enam dan aku kelas sembilan.
"Hmmm" Dahi Umi mengkerut , seolah berfikir keras , padahal aku tau pasti Umi sudah punya rencana memasak apa, beliau hanya sedang ingin membuat adikku memberikan ide, ya hanya ide adikku untuk yang satu ini, karena sudah pasti aku tak memiliki ide apapun. Menyambut kepulangan Abi dari Tanjung Pinang setelah menyelesaikan pekerjaannya mencari nafkah , menjadi moment yang berharga untuk masakan mereka.
"Ah Umi... Abi khan suka pelas udang kukus buatan Umi, kita masak itu saja" rengeknya, dan akhirnya tawa itu sempurna, tapi tidak untuk tawaku, hanya senyum tipis melihat indahnya hubungan ibu-anak ini. Tapi tak lama tawaku juga akan terlepas ketika Umi bertanya tentang sekolahku, tentang pelajaran yang kusukai , tentang prestasiku menulis hingga mendapat nilai berapa dalam pelajaran seni dan sastra, karena disanalah bakatku berada, setidaknya begitu yang sering kudengar dari kebanyakan sahabatku, termasuk Umi.
***

Berkali-kali kulihat umi mengusap peluh yang merembes di keningnya, ketika beliau memasak untuk makan malam kami, ada yang kurang beres kulihat , umi sedang kurang baik kesehatannya.
"Umi sakit?" aku mendekat memegang pundaknya , merasakan umi tengah menggigil
"Astaghfirullah, sudah Umi, Umi harus istirahat"
"tidak apa, umi harus menyelesaikan ini"
"Tidak umi, biar Handa saja" begitu janjiku untuk menghentikan kegiatannya, dan aku tau kenapa umi memberikan tatapan ragu terhadapku, andai adikku tak memiiliki kegiatan ektrakulikuler di kelas tujuhnya sore ini, aku tak harus berjanji menyelesaikan kegiatan masak-memasak ini.
Dan benar saja, masakanku hampir tak tersentuh di meja makan, padahal berkali-kali ku intip penampilannya tak jauh beda dengan masakan umi biasanya , sup ayam dan udang masak kecap yang berwarna cokelat karena memang begitu warna kecapnya, ya aku akui ketika menghidangkannya aku tak menghirup aroma sedap seperti masakan Umi, tapi apa salahnya mereka mencicip sedikit saja dengan rasa senang, meski aku sendiri sangsi tentang rasanya.

"Kami menghawatirkan kesehatan Umi" begitu aku berpositive thinking, saat kulihat Abi dan adikku ogah-ogahan makan.
***

"Tau kenapa masakan Umi enak?" Umi berkata pada adikku
"Kenapa Umi?"
"Karena Umi meracik bumbunya dengan bumbu cinta" jawab Umi tersenyum
"Bumbu cinta?"
"Ya, karena memiliki kalian adalah anugerah untuk Umi, adalah amanah Allah yang harus Umi jaga sebaik-baiknya, kalian berdua anak-anak Umi yang kelak akan membangun peradapan dunia menjadi lebih baik, dan menjadi tanggung jawab Umi untuk menjaga kesehatan kalian dengan makanan sehat dan tentu lezat, setiap masakan Umi adalah di penuhi dengan cinta , ikhlas dan penuh pengharapan semoga yang halal ini akan menambah ghirahkalian dalam menjalankan perintah Allah, itu sebabnya kenapa Umi tak perduli harus memasak berapa kali setiap kalian dan Abi kalian lapar" Umi tertawa tanpa suara , hanya baris giginya yang rapi dan wajah cerah kami dapati.
"Kalian tau cerita tentang ketabahan Siti Fatimah, putri kecintaan Rosulullah Sholallahu'alaihi wasalam" lanjutnya
Kami diam, namun penuh ekspresi ingin tau.
"Beliau adalah sosok teladan bagi kaum muslimah yang tak pernah mengeluh , untuk menyediakan makanan bagi suami dan anak-anaknya , beliau harus rela menggiling padi hingga berpeluh-peluh dan tangan lecet, tapi masih dengan cinta beliau melakukannya , adalah janji Allah bahwa setiap ibu yang menyediakan makanan untuk suami dan anaknya dengan keikhlasan, maka dosanya akan di ampuni sebanyak buliran gandum/beras yang ia sediakan" Umi tersenyum
Dan adikku langsung memeluk Umi, Ia tersedu-sedu sambil terus berterima-kasih dan memuji bahwa masakan Umi tiada duanya, sedang aku hanya menunduk , menyembunyikan mata berkaca tapi tak pernah mengungkapkan bahwa masakan Umi memang yang terlezat yang pernah kurasa, "ah bumbu cinta, indahnya kalimat Umiku ini".
***

Adikku tersenyum manis di panggung tempat ia duduk menghadap para audiens yang kebanyakan adalah ibu rumah tangga termasuk aku, sekali-kali ia menatapku masih dengan senyum manisnya, ia di undang sebagai pembicara dalam acara bedah buku "Masakan Ibu" yang merupakan kumpulan dari resep-resep yang sering ia tampilkan di sebuah televisi swasta yang kini telah melambungkan namanya sebagai koki terbaik.

"bagaimana anda bisa belajar begitu banyak masakan dan semuanya menjadi masakan lezat?" seorang bertanya sambil berdiri

"saya selalu belajar dari Umi" begitu adikku menjawabnya

"Beliau bukan koki terkenal , tapi koki terbaik yang saya kenal, sejauh ini belum ada yang bisa menandingi kelezatan masakan beliau di lidah saya, suatu hari Umi pernah berkata bahwa kenapa masakan beliau enak adalah karena setiap bumbu yang beliau racik selalu di taburi dengan rasa cinta dan keikhlasan , dan itulah resep yang selalu saya tuangkan dalam setiap masakan saya, hanya saja saya tidak pernah menuliskannya di buku ini " audiens tertawa

Tapi aku menangis, karena dulu semasa Umi menyediakan masakan untuk kami , meski aku mengakui apa yang di katakan adikku benar adanya aku tak pernah sekalipun memujinya, aku tak hebat berkomentar soal rasa masakan, namun kini berkali-kali aku ingin melakukannya sejak aku tak lagi bisa merasakannya karena beliau telah berpulang. Aku ingin berkata "bumbu cinta masakan Umi tak terkalahkan , bahkan oleh adikku sekalipun."
***

Batam 24 Maret 2010

No comments:

Post a Comment