“Assalamu’alaikum, bunda ada telpon untuk bunda, dari nenek” suara Hany di balik pintu membuyarkan lamunan panjangku “iya sayang, sebentar ya” jawabku “Hany bilang apa sama nenek bunda?” tanya Hany lagi, “bilang saja nanti bunda yang telpon sayang” “siap bunda” jawab Hany jenaka, aku hanya tersenyum.
“Assalamu’alaikum, ibu maaf agak lama tadi Husni habis mandi, ibu apa kabar? Semua sehat khan? Anak Nayla gimana, udah bisa ngapain?” tanyaku berturut-turut “kamu lho nduk, kok jarang mampir kerumah sini lagi tho” aku diam, sejak adik ku Nayla menikah sampai punya anak, bisa di hitung dengan jari kapan aku menjenguk mereka, yach karena kesibukan kerjaku dan waktu libur yang ku gunakan untuk lebih memperhatikan Hany “nduk” ibu membuyarkan lamunanku “iya ibu” jawabku tergagap “besok datang kerumah ya, ada acara di rumah, ibu minta tidak perlu membawa anak temanmu itu” aku memandang Hany yang masih sibuk dengan tugasnya, “tapi…” raguku “apa satu keinginan ibu tidak bisa kau penuhi anak ku?” aku terhenyak, “maafkan Husni ibu, baiklah Husni akan datang tidak membawa Hany , tapi mungkin Husni tidak akan lama” aku mendengar ibu menghela nafas panjang “ datanglah dulu nduk” pembicaraan kami berakhir.
***
“Tapi ini menyangkut kehidupan Husni ibu” perasaan ku bergelegak, kucoba terus istiqfar “Ya Rabb’ jauhkanlah hamba dari tipu daya syaiton, redamlah amarah dalam diri hamba, agar hamba tidak menyakiti siapapun” rintihku ketika aku menghadapi kenyataan ibuku menerima pinangan seorang laki-laki tanpa sepengetahuanku , ketika ibuku memaksaku untuk menerimanya, padahal bayangan wajahnya belum sama sekali terlintas dalam pikiranku “ibu hanya ingin melihatmu bahagia sebelum ibu tutup usia” sedih mendengar apa yang ibu ucapkan, dilema besar ku hadapi, masalahnya adalah bagaimana dengan Hany , aku tidak akan menikah dengan orang yang tidak mau menerima kehadiran Hany, inikah yang ibu maksud bahwa aku tidak di perbolehkan datang bersama Hany ketika menghadiri undangan nya kemarin? Aku mamandang Nayla ,ayah, mas Hadi, mbak Rima bergantian mereka diam, mungkin setuju dan cukup paham dengan keputusan ibu ku. “InsyaAllah dia ikhwan yang shalih mbak, cocok sama mbak” hanya itu yang di bisikan Nayla padaku ketika aku pamit pulang, kami sama sekali tak membicarakan apakah ia mau menerima Hany atau tidak.
Sampai rumah aku istikharah aku lebih percaya pada keputusan Allah, aku meminta jalan keluar yang terbaik, untuk ku, untuk keluargaku, untuk calon menantu ibu, dan yang terpenting untuk Hany, “dek tolong pertemukan dengan mbak ikhwan itu sebelum pertemuan kami di acara khitbah nanti” aku sms adik ku Nayla “tapi mbak, Nayla takut ibu marah, tapi percayalah dia ikhwan yang shalih InsyaAllah mbak” jawabnya “Ya Allah bukan itu dek, mbak tidak akan membohonginya tentang Hany, hanya itu, pernikahan tidak bisa di mulai dengan kebohongan” aku menunggu balasanya, perasaan ku gelisah hingga larut malam, aku kecewa Nayla bahkan tidak bisa membantuku tiba-tiba sms nya datang setelah aku benar-benar pasrah mbak kirim saja surat ke alamat ini
Hanung Pramana
Perumahan Klasik Batu Aji
Blok A No.2
“Alhamdulillah” syukurku, segera kutulis suratku, “bismillah semoga ini jadi jalan terbaik”
Assalamu’alaikum warrahmatullah wabarakatuh
Untuk ikhwan yang bersedia mengkhitbahku,
Mas Hanung Pramana
Segala puji bagi Allah, yang mengaruniakan keindahan Islam dan Iman, keikhlasan menerima setiap kehendak Nya, dan semoga shalawat dan salam tercurah pada baginda Nabiullah, sebagai uswatun hasanah umat di seluruh penjuru bumi
Mas Hanung,
Sangat di sayangkan hingga acara khitbah nanti kita tidak akan bertemu pandang, karena ada hal penting yang ingin saya sampaikan, sebelum semuanya berlanjut, ada hal yang mungkin tidak di sampaikan oleh ibu dan ahli keluargaku.
Saat ini saya tinggal di rumah sederhana yang alhamdulillah mampu saya beli dengan hasil keringat sendiri, saya tinggal bersama seorang anak sebagai amanah Allah, saya yang bertanggung jawab atas masa depan nya, dia adalah anak sahabatku yang di titipkan padaku, dan saya telah menganggapnya sebagai anak kandung, dan jika InsyaAllah kelak mas Hanung menjadi suamiku mau tidak mau mas Hanung harus ikhlas menerimanya sebagai anak, sebagai bagian dari tanggung jawab, saya yakin mas Hanung tau maksud saya.
Jika mas Hanung keberatan , masih banyak waktu untuk membatalkan acara khitbah sebelum ada banyak harapan dari keluarga kita masing-masing.
Semoga Allah memberi kemudahan dan jalan keluar yang terbaik untuk kita amiiin
Wassalamu’alaikum
Husniyah Azah
Kulipat suratku dan segera ku kirimkan kepada alamat yang ku maksud.
***
Satu minggu berlalu, tak juga ada balasan surat yang ku mau, “apa mungkin Nayla berbohong padaku” pikirku ber suudzhon , segera ku tepis, mungkin mas Hanung sibuk, tapi kenapa tidak menyempatkan menulis satu kata saja untuk urusan sepenting ini. aku pasrah tiga hari lagi acara itu berlangsung, acara yang membicaraan tentang pernikahan kami, acara pertemuanku dengan mas Hanung calon suamiku, acara yang menunjukan hubungan kami benar-benar serius, haruskah aku menelan kekecewaan kesekian kali, bukankah dulu mas Rangga juga sudah melamarku, namun memutuskan semuanya karena adanya Hany. Bahkan pria-pria setelah mas Rangga yang mananyakanku juga punya pendapat sama dengan mas Rangga, Keraguan besar melandaku, aku memang sudah memberi tahukan pada mas hanung tapi apa dia membaca suratku “Ya Allah keputusan terbaik adalah kehendak Mu”
Aku memaksa, ketika ibu mengatakan tidak untuk kehadiran Hany di acara kami, “Hany adalah anak ku” ucap ku tegas, meski aku tau ibu was was, tapi aku harus berpikir realistis, bagaimana mungkin aku menikah dengan membohongi calon suamiku, apa kata keluarganya nanti setelah menikah.
Mas Hanung,
Sederhana, menurut pandanganku, wajah nya tidak putih namun bersih, senyum ramah menghiasi bibirnya, matanya teduh, bahkan ketika menatapku sekilas, “ia ikhwan shalih InsyaAllah” ucapan Nayla masih lekat terdengar. Tapi aku masih bingung ia sama sekali tak berniat membahas tentang Hany, dan keluarganya juga, padahal Hany sama sekali tak mau jauh dariku saat itu, tapi aku harus tau kejelasanya , aku menatap ibuku sekilas, beliau nampak bersinar bahagia, mungkin juga deg- deg an apa aku akan membahas tentang Hany. Pembicaraan hampir berakhir, aku gelisah, mereka telah menentukan hari pernikahan dua minggu lagi, aku sama sekali tidak konsen dengan pembicaraan mereka, beberapa kali ku elus kepala Hany yang diam menyimak, Hany menarik lenganku untuk mendekat “bunda, om itu maw jadi ayah Hany yach” bisiknya , aku hanya mengangguk , ia tertawa pelan dengan memperlihatkan barisan giginya yang rapi “Hany boleh cium tanganya bunda?” bisiknya lagi, ekspresi wajahku berubah, “emmm sabar ya sayang, om nya khan masih sibuk” hiburku ia mengangguk, lalu memandang mas Hanung yang juga memandang kami. Mas Hanung membalas kerlingan manja Hany , aku mengernyitkan dahi heran, apa benar mas Hanung menerima Hany.
“ada yang ingin di sampaikan mbak Husni sebelum acara kita tutup?” tiba-tiba mas Hanung membuka pembicaraan , semua mata tertuju padaku , “inilah waktuku” pikirku , setelah itu selama 15 menit kalimat demi kalimat mengalir hatiku, hampir sama persis seperti yang ku katakan di suratku yang lalu. Dan pertemuan itu berakhir , aku hampir tidak percaya akhirnya Allah mempertemukanku dengan mas Hanung, pria yang mau menerima Hany “alhamdulillah ya Allah” air mata ku tumpah , ibu memeluk ku erat, meminta maaf berkali-kali, kemudian mencium Hany, aku bisa melihat bagaimana bahagianya Hany saat itu, saat semua orang bisa menerimanya, saat mas Hanung calon suamiku mencium keningnya lembut.
***
“Panti asuhan At Tamaddun” itu yang ku baca di papan pintu masuk yang kami lewati, suamiku mengajak ku kesana setelah satu minggu pernikahan kami, aku tidak tau apa maksudnya “surprise” dia bilang, Hany duduk di jok belakang mobil ia terlihat lebih manis dengan jilbab putih pemberian mas Hanung. Hany memeluk manja mas Hanung ketika satu bingkisan manis suamiku berikan padanya “ini untuk putri ayah yang paling cantik” ujarnya, aku benar-benar merasakan kelembutanya, dan rasa sayang nya, aku tak henti bersyukur Allah karuniakan kebahagiaan itu setelah hampir 6 tahun aku bersabar.
Dua anak kecil berumur 3 tahun dan 4 tahun mendekati suamiku dan mencium tangan nya, dua2 nya cowok, aku dan Hany diam memandang nya , lalu suami ku mengisyaratkan kami mendekat , “ayah, ini bunda yang ayah ceritakan?” aku mendengar pria kecil itu berbicara pada suamiku suamiku mengangguk “ayo salim sama bunda” mereka berdua saling berebut tanganku setelah suamiku berujar, meski masih di balut rasa bingung aku memeluk mereka berdua, menghadiahi sebuah ciuman ke ubun2 mereka. Lalu memandang suamiku dengan tanda tanya besar, “mereka anak-anak kita” ujarnya “aku menjadi orang tua asuh mereka sejak mereka masih bayi, dan aku berjanji pada ibu ustadzah akan mengambil mereka setelah aku menemukan bunda yang mau merawat mereka di istana yang aku bangun, sekarang boleh kah aku bertanya pada ibu dari anak-anak ku , maukah engkau menerima mereka ?” mas Hanung mambungkuk kan badan, aku tertawa , dengan uraian air mata haru aku memeluknya erat , ucapan syukur berkali2 ku lantunkan “terima kasih ya Allah, terima kasih” kini aku semakin yakin pada kekuatan janji Allah
“Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaitan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah (Faathir :5).
Batam 6 Maret 2008
tiny
“Assalamu’alaikum, ibu maaf agak lama tadi Husni habis mandi, ibu apa kabar? Semua sehat khan? Anak Nayla gimana, udah bisa ngapain?” tanyaku berturut-turut “kamu lho nduk, kok jarang mampir kerumah sini lagi tho” aku diam, sejak adik ku Nayla menikah sampai punya anak, bisa di hitung dengan jari kapan aku menjenguk mereka, yach karena kesibukan kerjaku dan waktu libur yang ku gunakan untuk lebih memperhatikan Hany “nduk” ibu membuyarkan lamunanku “iya ibu” jawabku tergagap “besok datang kerumah ya, ada acara di rumah, ibu minta tidak perlu membawa anak temanmu itu” aku memandang Hany yang masih sibuk dengan tugasnya, “tapi…” raguku “apa satu keinginan ibu tidak bisa kau penuhi anak ku?” aku terhenyak, “maafkan Husni ibu, baiklah Husni akan datang tidak membawa Hany , tapi mungkin Husni tidak akan lama” aku mendengar ibu menghela nafas panjang “ datanglah dulu nduk” pembicaraan kami berakhir.
***
“Tapi ini menyangkut kehidupan Husni ibu” perasaan ku bergelegak, kucoba terus istiqfar “Ya Rabb’ jauhkanlah hamba dari tipu daya syaiton, redamlah amarah dalam diri hamba, agar hamba tidak menyakiti siapapun” rintihku ketika aku menghadapi kenyataan ibuku menerima pinangan seorang laki-laki tanpa sepengetahuanku , ketika ibuku memaksaku untuk menerimanya, padahal bayangan wajahnya belum sama sekali terlintas dalam pikiranku “ibu hanya ingin melihatmu bahagia sebelum ibu tutup usia” sedih mendengar apa yang ibu ucapkan, dilema besar ku hadapi, masalahnya adalah bagaimana dengan Hany , aku tidak akan menikah dengan orang yang tidak mau menerima kehadiran Hany, inikah yang ibu maksud bahwa aku tidak di perbolehkan datang bersama Hany ketika menghadiri undangan nya kemarin? Aku mamandang Nayla ,ayah, mas Hadi, mbak Rima bergantian mereka diam, mungkin setuju dan cukup paham dengan keputusan ibu ku. “InsyaAllah dia ikhwan yang shalih mbak, cocok sama mbak” hanya itu yang di bisikan Nayla padaku ketika aku pamit pulang, kami sama sekali tak membicarakan apakah ia mau menerima Hany atau tidak.
Sampai rumah aku istikharah aku lebih percaya pada keputusan Allah, aku meminta jalan keluar yang terbaik, untuk ku, untuk keluargaku, untuk calon menantu ibu, dan yang terpenting untuk Hany, “dek tolong pertemukan dengan mbak ikhwan itu sebelum pertemuan kami di acara khitbah nanti” aku sms adik ku Nayla “tapi mbak, Nayla takut ibu marah, tapi percayalah dia ikhwan yang shalih InsyaAllah mbak” jawabnya “Ya Allah bukan itu dek, mbak tidak akan membohonginya tentang Hany, hanya itu, pernikahan tidak bisa di mulai dengan kebohongan” aku menunggu balasanya, perasaan ku gelisah hingga larut malam, aku kecewa Nayla bahkan tidak bisa membantuku tiba-tiba sms nya datang setelah aku benar-benar pasrah mbak kirim saja surat ke alamat ini
Hanung Pramana
Perumahan Klasik Batu Aji
Blok A No.2
“Alhamdulillah” syukurku, segera kutulis suratku, “bismillah semoga ini jadi jalan terbaik”
Assalamu’alaikum warrahmatullah wabarakatuh
Untuk ikhwan yang bersedia mengkhitbahku,
Mas Hanung Pramana
Segala puji bagi Allah, yang mengaruniakan keindahan Islam dan Iman, keikhlasan menerima setiap kehendak Nya, dan semoga shalawat dan salam tercurah pada baginda Nabiullah, sebagai uswatun hasanah umat di seluruh penjuru bumi
Mas Hanung,
Sangat di sayangkan hingga acara khitbah nanti kita tidak akan bertemu pandang, karena ada hal penting yang ingin saya sampaikan, sebelum semuanya berlanjut, ada hal yang mungkin tidak di sampaikan oleh ibu dan ahli keluargaku.
Saat ini saya tinggal di rumah sederhana yang alhamdulillah mampu saya beli dengan hasil keringat sendiri, saya tinggal bersama seorang anak sebagai amanah Allah, saya yang bertanggung jawab atas masa depan nya, dia adalah anak sahabatku yang di titipkan padaku, dan saya telah menganggapnya sebagai anak kandung, dan jika InsyaAllah kelak mas Hanung menjadi suamiku mau tidak mau mas Hanung harus ikhlas menerimanya sebagai anak, sebagai bagian dari tanggung jawab, saya yakin mas Hanung tau maksud saya.
Jika mas Hanung keberatan , masih banyak waktu untuk membatalkan acara khitbah sebelum ada banyak harapan dari keluarga kita masing-masing.
Semoga Allah memberi kemudahan dan jalan keluar yang terbaik untuk kita amiiin
Wassalamu’alaikum
Husniyah Azah
Kulipat suratku dan segera ku kirimkan kepada alamat yang ku maksud.
***
Satu minggu berlalu, tak juga ada balasan surat yang ku mau, “apa mungkin Nayla berbohong padaku” pikirku ber suudzhon , segera ku tepis, mungkin mas Hanung sibuk, tapi kenapa tidak menyempatkan menulis satu kata saja untuk urusan sepenting ini. aku pasrah tiga hari lagi acara itu berlangsung, acara yang membicaraan tentang pernikahan kami, acara pertemuanku dengan mas Hanung calon suamiku, acara yang menunjukan hubungan kami benar-benar serius, haruskah aku menelan kekecewaan kesekian kali, bukankah dulu mas Rangga juga sudah melamarku, namun memutuskan semuanya karena adanya Hany. Bahkan pria-pria setelah mas Rangga yang mananyakanku juga punya pendapat sama dengan mas Rangga, Keraguan besar melandaku, aku memang sudah memberi tahukan pada mas hanung tapi apa dia membaca suratku “Ya Allah keputusan terbaik adalah kehendak Mu”
Aku memaksa, ketika ibu mengatakan tidak untuk kehadiran Hany di acara kami, “Hany adalah anak ku” ucap ku tegas, meski aku tau ibu was was, tapi aku harus berpikir realistis, bagaimana mungkin aku menikah dengan membohongi calon suamiku, apa kata keluarganya nanti setelah menikah.
Mas Hanung,
Sederhana, menurut pandanganku, wajah nya tidak putih namun bersih, senyum ramah menghiasi bibirnya, matanya teduh, bahkan ketika menatapku sekilas, “ia ikhwan shalih InsyaAllah” ucapan Nayla masih lekat terdengar. Tapi aku masih bingung ia sama sekali tak berniat membahas tentang Hany, dan keluarganya juga, padahal Hany sama sekali tak mau jauh dariku saat itu, tapi aku harus tau kejelasanya , aku menatap ibuku sekilas, beliau nampak bersinar bahagia, mungkin juga deg- deg an apa aku akan membahas tentang Hany. Pembicaraan hampir berakhir, aku gelisah, mereka telah menentukan hari pernikahan dua minggu lagi, aku sama sekali tidak konsen dengan pembicaraan mereka, beberapa kali ku elus kepala Hany yang diam menyimak, Hany menarik lenganku untuk mendekat “bunda, om itu maw jadi ayah Hany yach” bisiknya , aku hanya mengangguk , ia tertawa pelan dengan memperlihatkan barisan giginya yang rapi “Hany boleh cium tanganya bunda?” bisiknya lagi, ekspresi wajahku berubah, “emmm sabar ya sayang, om nya khan masih sibuk” hiburku ia mengangguk, lalu memandang mas Hanung yang juga memandang kami. Mas Hanung membalas kerlingan manja Hany , aku mengernyitkan dahi heran, apa benar mas Hanung menerima Hany.
“ada yang ingin di sampaikan mbak Husni sebelum acara kita tutup?” tiba-tiba mas Hanung membuka pembicaraan , semua mata tertuju padaku , “inilah waktuku” pikirku , setelah itu selama 15 menit kalimat demi kalimat mengalir hatiku, hampir sama persis seperti yang ku katakan di suratku yang lalu. Dan pertemuan itu berakhir , aku hampir tidak percaya akhirnya Allah mempertemukanku dengan mas Hanung, pria yang mau menerima Hany “alhamdulillah ya Allah” air mata ku tumpah , ibu memeluk ku erat, meminta maaf berkali-kali, kemudian mencium Hany, aku bisa melihat bagaimana bahagianya Hany saat itu, saat semua orang bisa menerimanya, saat mas Hanung calon suamiku mencium keningnya lembut.
***
“Panti asuhan At Tamaddun” itu yang ku baca di papan pintu masuk yang kami lewati, suamiku mengajak ku kesana setelah satu minggu pernikahan kami, aku tidak tau apa maksudnya “surprise” dia bilang, Hany duduk di jok belakang mobil ia terlihat lebih manis dengan jilbab putih pemberian mas Hanung. Hany memeluk manja mas Hanung ketika satu bingkisan manis suamiku berikan padanya “ini untuk putri ayah yang paling cantik” ujarnya, aku benar-benar merasakan kelembutanya, dan rasa sayang nya, aku tak henti bersyukur Allah karuniakan kebahagiaan itu setelah hampir 6 tahun aku bersabar.
Dua anak kecil berumur 3 tahun dan 4 tahun mendekati suamiku dan mencium tangan nya, dua2 nya cowok, aku dan Hany diam memandang nya , lalu suami ku mengisyaratkan kami mendekat , “ayah, ini bunda yang ayah ceritakan?” aku mendengar pria kecil itu berbicara pada suamiku suamiku mengangguk “ayo salim sama bunda” mereka berdua saling berebut tanganku setelah suamiku berujar, meski masih di balut rasa bingung aku memeluk mereka berdua, menghadiahi sebuah ciuman ke ubun2 mereka. Lalu memandang suamiku dengan tanda tanya besar, “mereka anak-anak kita” ujarnya “aku menjadi orang tua asuh mereka sejak mereka masih bayi, dan aku berjanji pada ibu ustadzah akan mengambil mereka setelah aku menemukan bunda yang mau merawat mereka di istana yang aku bangun, sekarang boleh kah aku bertanya pada ibu dari anak-anak ku , maukah engkau menerima mereka ?” mas Hanung mambungkuk kan badan, aku tertawa , dengan uraian air mata haru aku memeluknya erat , ucapan syukur berkali2 ku lantunkan “terima kasih ya Allah, terima kasih” kini aku semakin yakin pada kekuatan janji Allah
“Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaitan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah (Faathir :5).
Batam 6 Maret 2008
tiny
No comments:
Post a Comment