Assalamu'alaykum, selamat datang di blog sederhana saya, selamat membaca! silahkan berkomentar & tinggalkan link anda untuk di kunjungi, terima kasih

Thursday, 21 August 2008

Cerpen Kemerdekaan : Bias- Bias Merah Putih

by. Tiny

Assalamualaykum, pengen nya sich nulis yang berhubungan dengan kemerdekaan, awalnya punya judul cerpen dan sedikit yang akan di tulis, tapi setelah lama-lama kok ngerasa ada yang ga nyambung jadi malu :) , tapi ga pa-pa dech, penulis mengartikan judul “bias bias Merah Putih” sebagai semangat sang pemeran utama, Hmmm karena rencana hanya buat cerpen serasa enggan melanjutkan hingga panjang, tapi InsyaAllah dengan izin Nya penulis akan berusaha menyempurnakanya, “semoga ada manfaat” hanya itu harapan penulis, Thanks for everything , Wassalamu’alaikum.


Terik mentari pagi melahirkan peluh dari dahi dan tubuhnya hingga merembes membasahi jilbab putihnya yang berkibar, tangannya tertarik ke dahi hingga membentuk siku dengan lurus dan tegap , di depannya berdiri kokoh tiang bendera yang di pucuknya tampak gagah sang merah putih mengangkasa seolah bersemangat mendapat penghormatan gadis yang memandangnya takjub, entah apa yang akan di katakanya seandainya ia bisa bicara, banggakah, atau sedih karena mendapat penghormatan yang berlebihan? Wallahu’alam. Sesungguhnya sang merah putih itu hanya sebentuk kain yang berwarna merah dan putih, namun karena ia berapa banyak pejuang mengalirkan darah dan akhirnya ber pulang ke hadirat Allah, itu yang sering banyak orang dengar. Sebenarnya bukan karena merah putih, ia hanya sebagai simbol sebuah bangsa, darah mengalir itu karena daya dan kekuatan yang Penguasa Alam berikan agar mereka tak selalu menjadi “jongos” dan terganggu dalam melakukan berbagai tindakan yang seharusnya kebebasan untuk mereka, para pejuang itu ingin bangsa Indonesia mempunyai hak yang setara dengan bangsa –bangsa lain, rakyatnya dapat melakukan ibadah untuk menyembah Allah tanpa di landa rasa was-was, lalu bila di negara tercinta ini masih ada yang merasakanya , apakah ia sudah di katakan merdeka, sesama rakyat indonesia saling bersitegang mempertahankan pendapat dan merasa sok benar sehingga tercipta kerusuhan, bukan dengan negara lain tapi dengan saudara sendiri, sungguh memilukan.

Sudah hampir setengah jam ia berdiri di sana, lirikan matanya tak menemukan tanda-tanda ia akan segera di bebaskan dari hukuman kesalahanya itu, rasa kantuk yang menyerangnya terbebas oleh rasa ngilu di kedua kaki yang ia rasakan demi menahan tubuhnya yang ringkih, rasa lapar melilit perut karena sejak tadi pagi ia belum terisi oleh makanan sekecil apapun , oh ia hampir lupa bahwa ia puasa sunah hari ini meski tak ada sahur bersama yang ia lakukan semalam, meski kemaren sore ia juga hanya memakan makanan ringan yang di sediakan oleh ibunya tercinta, “tapi inilah perjuangan” batin nya “perjuangan untuk menjadi hamba yang mandiri dan penuh syukur” seulas senyum semangat sekilas membuatnya tegar kembali. Namun bila akibat dari kurang istirahatnya ia semalam dan harus ia rasakan detik ini maka kembali wajahnya murung, bukan hanya itu bayangan ibundanya menahan perih di sekujur tubuhnya tadi malam sungguh membuatnya sangat membenci pria itu, pria yang tidak lain adalah ayah kandungnya sendiri, andai ia punya kekuatan ia pasti akan memukul pria itu namun pandangan sayu ibunya memohon kepadanya untuk tidak bergerak sedikitpun dari kamarnya akhirnya hanya membuatnya terpaku.

Halaman luas di sekolahnya seolah berenang di antara tumpukan air yang mengambang di kelopak matanya, satu mengalir ketika ia sedikit mengedipkan mata, namun ia cepat menghapusnya, sungguh ia tak ingin ada yang melihatnya menangis, karena pasti mereka mengira ia bersedih atas hukuman yang tak seberapa itu.

“brakk !” bunyi keras yang tercipta membuat ia terbangun, cepat ia mengintip keluar ada apa sebenarnya , “oh Allah” ia hendak berlari mendapati ibunya yang memegangi kepala yang meneteskan darah karena terbentur meja, matanya mendapati pria itu berkacak pinggang, sudah di pastikan tak ada niatnya untuk membantu istrinya berdiri, “apa kau pikir aku berminat memberimu uang?” kata –kata pedas meluncur dari bibirnya yang memberi aroma minuman keras “tidak perlu manja, wanita sial” hatinya pilu mendengar wanita yang begitu ia cintai mendapat kata-kata kasar dari pria itu, air matanya mengalir tak ada kekuatan yang mampu membuat ia berteriak dan menghentikan adegan gila ini , “tapi anak kita membutuhkan biaya sekolah pak” tubuh layu ibunya beranjak berdiri, darah masih mengalir menyisakan perih namun berusaha ia tahan, ia ingin suaminya menyadari bahwa ia mempunya tanggung jawab atas putrinya. “apa? Anak kita? Anak yang hanya membawa kebangkrutan usaha yang di wariskan oleh ayahku, anak yang hanya membawa sial itu, dia bukan anakku, kalian memang pembawa sial!” lagi-lagi kata-kata pedas itu melukai perasaanya dan tentu saja ibunya. Kata-kata yang entah berapa kali ia dengar, kalimat yang selalu di lontarkan ayahnya bila marah, kalimat sebagai tedeng aling-aling untuk melepaskan tanggung jawabnya. “ayah yang kejam” bisiknya berurai air mata. Ia hanya menggigit bibirnya ketika ibunya kembali tersungkur, “jangan berusaha menghalangi aku pergi” mimik wajah pria itu begitu mengerikan , kemudian dengan bantingan keras pintu tertutup dan ia meninggalkan rumah mungil nya dalam keadaan senyap.

“jangan cengeng karena kesalahan sendiri” suara dari samping telinga kirinya membuatnya tergagap, ia tak menyadari lelehan bening telah ikut membanjiri pipinya, selain itu isakan tangisnya sendiri tak bisa ia tahan, rona wajahnya memerah dadu segera ia mengelap air mata bercampur keringat yang membuat wajah hitam manisnya mengkilap di terpa mentari pagi. Akhirnya datang juga sang ketua osis teman satu kelasnya memberikan kabar gembira atas berakhirnya masa hukumanya karena keterlambatanya mengikuti upacara hari ini. “lain kali jangan di ulangi” sang ketua osis kemudian berlalu , “terima kasih” jawabnya sambil merapikan jilbabnya. Rasanya mereka tak khan membutuhkan alasan kenapa ia terlambat, rasanya pendidikan untuk menghormati sang merah putih saat berkibar tak membuat mereka punya jiwa sosial, adakah hal yang sia-sia dari bias-bias merah putih yang mungkin berkibar di dada mereka. Bias-bias merah putih akan perjuangan para penegak kemerdekaan sepertinya tak membuat mereka peduli akan masalahnya. "cukup Allah yang tau” ia mendongak berusaha menembus langit ketujuh. ***

“Maysa’ Ghayda Numa” ia mendongak mendengar namanya di suarakan di depan kelas, menghentikan tulisanya pada buku kumpulan puisinya, entah dari mana ibunya mendapatkan nama yang selalu mengundang decak kagum atas ke unikanya, tapi sungguh ia sangat bangga karena meski tak terpelajar ibunya bisa mendapat nama sangat bagus untuknya , “artinya Gadis yang cantik, lembut dan akan membuat semua orang bangga padamu” jawab sang ibu sambil mencium pipinya , ia ikut tertawa menampakan baris giginya yang terawat. “di panggil bapak wali kelas” tanpa bersuara apa-apa ia beranjak, ia tau benar apa yang akan di tanyakan dan harus di jawab olehnya kepada bapak wali kelasnya yang sangat bijak. UAS semester 2 kelas XI hampir mendekati, tapi uang SPP sejak awal tahun pelajaran kelas XI belum juga di bayar, ia sudah berusaha untuk membicarakan dengan ibunya tapi ia seolah mengerti apa yang akan ia dapati pada perempuan paruh baya yang selalu memeluknya itu, akan ada linangan air mata. Dan ia tak khan sanggup berkata apa-apa lagi.

“apa tidak ada beasiswa untuk siswa kurang mampu atau berprestasi?” ia menunduk mengeluarkan suara itu , ia malu sebenarnya, ini seperti sebuah permintaan atau mengemis tapi tak ada jalan lain menyelamatkan sekolah yang harus di rampungkan demi ia dan ibunya, agar mereka terlepas dari pria yang selalu menyiksa ibunya. Hanya terdengar helaan nafas berat dari sang guru, ada beban yang hendak ia keluarkan namun tak tau bagaimana caranya “Ayda, sepertinya kamu tidak membutuhkan beasiswa kurang mampu, karena disini tercatat kamu hanyalah anak tunggal dari sepasang suami istri yang sehat walafi’at” kepala gadis yang di panggil ayda terkulai menyembunyikanya di balik jilbab nya, “hanya itu yang tercatat pak, taukah anda ibu saya harus menangis dan menahan luka di sekujur tubuhnya setiap ayah pulang, taukah anda penderitaan kami, atau anda hanya menutup mata” suara hatinya tersekat di tenggorokan tak mampu terdengar oleh siapapun.

“maaf kalau saya lancang pak, atau pengetahuan saya hanya sebatas tau dan tidak bisa di pertanggung jawabkan, saat ini pemerintah sudah cukup memperhatikan sekolah-sekolah di daerah pedesaan rasanya tidak mungkin tak ada beasiswa atau bantuan untuk siswa di sekolah kita, saya memang anak tunggal dari sepasang suami istri yang sehat wal afiat, tapi apakah itu sebuah jaminan kedua orang tua saya adalah orang yang mampu” tiba-tiba ucapan itu meluncur dari bibirnya yang kering, membuat sang wali kelas ternganga tak percaya, satu bulir keringat dingin membasahi dahinya, seperti mengalami sebuah ancaman “bapak dan guru-guru di sini adalah harapan kami dalam memperjuangkan sekolah kami, sungguh andai punya tentu saya tidak akan berada di sini memperdebatkan masalah biaya ini pak, saya tau bukan hanya saya yang bapak panggil, tapi tolong kami juga ingin sekolah seperti anak-anak berdarah biru itu” suara serak itu makin nyata membuat sang wali kelas tersudut tak berdaya, beberapa kepala menoleh memperhatikan mereka. “bapak akan membicarakanya dengan bapak kepala sekolah, semoga apa yang kamu katakan benar” jawabnya akhirnya, belum memberikan nafas lega untuk Ayda tapi setidaknya memberikan sedikit harapan, akhirnya pertemuan dengan siswa lainya di tunda sementara waktu. ***


7 Tahun Kemudian

Bias-bias merah putih berkibar di antara lautan cinta seorang Maysa’ Ghayda, senyum simpul menarik sebuah lesung pipit di kedua pipi yang kini terlihat putih bersih, rangkaian peristiwa telah menjadi alur cerita hidupnya selama 7 tahun ini, hingga ia mencapai gelar sarjana, terlalu panjang meski belum punya ending tapi kebahagiaan kini ia tuai setelah tetesan air mata hampir kering di kelopak matanya. Semangatnya hanya bayangan dari merah putih yang selalu ia pandang dengan kagum, ia berbias dalam diri dan kepribadian sang Ayda , dialah bias-bias merah putih itu.

“terima kasih ibu” ujar Ayda untuk ibunda yang dengan terampil memijit tengkuknya ia memang merasa sangat kelelahan memeriksa tumpukan buku siswa-siswa didikan nya, lama ibunya tak menjawab, dengan pasti ia mengetahui apa yang di butuhkan oleh putri semata wayangnya itu, putri yang telah membuatnya bangga di lahirkan di dunia ini, rasa syukur tak henti ia panjatkan atas karunia Allah yang agung. Namun mimik wajahnya kali ini menahan suatu beban, beban yang berusaha ia bagi dengan Ayda “ibu ingin berbicara sesuatu?” tanya Ayda lembut sambil memegang tangan ibunya, hanya helaan nafas yang terdengar setelah pekerjaan memijit itu ia hentikan, namun tanganya tak beranjak dari bahu anak nya. “ayahmu tadi siang datang mengunjungi kita” suara pelan ibu nya membuat ia berdiri dan memutar tubuhnya 180 derajat hingga berhadapan dengan sang pembawa kabar, tak ada pertanyaan yang keluar selain raut muka yang muram. “dia ingin berbicara dan meminta maaf padamu anak ku” lanjut sang ibu.

Ayda memalingkan wajahnya dari wajah yang selalu membuat hatinya luluh di hadapanya, “Ayda belum sholat Isya, izinkan Ayda menyudahi pembicaraan kita ibu” elusan tangan di pipinya menahan langkahnya “dia ayahmu nak” suara ibu parau mungkin telah berbaur dengan air mata, Ayda tak mampu memandangnya dan tak mampu bersuara untuk menentang , ia begitu takut melukai hati lembut sang ibu. “maafkan Ayda ibu” ia mencium tangan ibunya dan berlalu, ia tak ingin menampakan luka yang menganga dan sulit terobati , luka karena ayahnya , yang kini berusaha meminta maaf kepadanya.

Ayda luruh dalam sujud dan do’anya , ia tau pria itu telah di maafkan oleh ibunya sejak lama, tapi rasanya tidak mungkin ia melupakan peristiwa demi peristiwa pahit yang sampai saat ini membuatnya takut di dekati pria, bayangan ibunya tersungkur dengan luka dan darah masih jelas nyata di pandanganya, bahkan terakhir ia bertemu ketika pria itu di bawa pihak kepolisian karena hampir membunuh ibunya yang harus di bawa ke UGD, apa semua itu belum cukup menjadi alasan bahwa ia tak pantas mendapatkan maafnya, mungkin pria itu juga tak menyadari bahwa ia hampir saja tak bisa meneruskan sekolahnya karena uang SPP yang tak juga ia berikan, mungkin dia juga lupa bahwa ia dan ibunya harus berpuasa hampir setiap hari karena susahnya memenuhi kebutuhan primer itu. “Ya Allah lalu alasan mana yang membuat hamba harus memaafkanya” ia terisak tak sanggup rasanya membawa beban luka pada ayah kandungnya sendirian, karena setiap ia mengingatnya nyeri ulu hatinya terasa menyiksa.

Ayda bisa merasakan rengkuhan sang ibu, menahan bahunya terguncang oleh lara hati yang menyergapnya. Andai bisa , sungguh ia tak ingin mengenal pria itu, pria yang hanya mengundang air matanya berurai, adakah hal lain yang bisa ia berikan selain ini? ***

Lukisan pelangi salah satu muridnya membawanya melayang pada keindahan ciptaan Allah yang selalu menjadi menu favorit bagi pandanganya ketika hujan reda, sejak dulu ia mengaguminya, mengagumi pelangi yang keindahanya menujukan betapa Maha Indah nya penciptanya. Sekulum senyum berhias, “alhamdulillah” bisiknya, ia bersyukur bisa merasakan indahnya pagi ini.

“ada undangan pernikahan bu Ayda” wanita berjilbab krem menghampirinya sambil mengulurkan sebuah sampul hijau muda bertuliskan namanya, “hayoo kapan nyusul” satu ungkapan kembali menyerang pendengaranya, “InsyaAllah, doain ya bu Sasya” jawabnya kalem, ia memang harus terbiasa dengan celotehan bernada serupa, karena tak bisa di pungkirinya usianya memang tak lagi belia, pernikahan harus ia jajaki segera, tapi semua tak semudah berkata karena satu alasan masih saja membuatnya takut melangkah, “nunggu apa tho, itu pemuda yang biasa jemput bu Ayda kelihatan sangat cocok lho” lagi-lagi bu Sasya memaksanya buka suara, bayangan pria yang sering datang ke sekolah menjemputnya meski telah ia tolak dengan halus berkelebat, Dafa memang pria yang baik dialah teman satu kelasnya dulu sang ketua osis, ia cukup mengenalnya tapi itu tidak cukup membuatnya melupakan tragedi ibunya.

“banyak yang bu Sasya tidak tau” mata nya menangkap pandangan simpati teman mengajarnya itu, sesekali ia menoleh pada foto yang terpampang di meja kerjanya, foto si mungil Rafi yang tertawa dalam pelukan kedua orang tuanya, tentu saja ia ingin seperti keluarga bahagia itu, tapi logikanya belum menemukan alasan untuk segera menerima pria sebagai soulmatenya. “bagaimana saya bisa tau, kalo bu Ayda tidak cerita, yang saya tau menentukan pilihan memang sangat sulit tapi melepaskan pilihan itu juga bukan tindakan yang cukup bijak” bibirnya membentuk sebuah lengkungan manis berusaha menyelami keadaan hati sahabatnya itu, “percayalah bu Ayda, kalau kita memilih karena Allah, maka Allah lah yang menjamin nya” kata-kata terakhir mengaburkan pandangan Ayda dalam nestapa yang dalam. “Duh GustiAllah ,ampuni atas kesombongan hamba Mu ini” lirih nya.***

“kemana?” Ayda membuka suara ketika mobil Dafa telah meluncur di jalanan, setelah istikharah berkali-kali ia menerima pinangan sahabat SMA nya itu, sifat lembut Dafa membuat ia berpikir bahwa ia sangat berbeda dari ayahnya “ mengunjungi seseorang, beliau sudah seperti orang tuaku sendiri, kami dekat setahun terakhir itupun karena saya banyak bertanya tentang Islam, sayangnya beliau tidak mau tinggal serumah dengan kami , katanya pengen di masjid aja, saya berjanji akan membawa calon istri saya untuk mendapatkan restu beliau” jelas Dafa panjang lebar, Ayda tidak banyak bertanya lagi, ia hanya menganggukan kepala tanda setuju.

Mereka melangkahkan kaki menuju halaman masjid dengan pelan, entah kenapa Ayda merasakan detak jantungnya lebih kencang dari sebelumnya, apa karena akan bertemu orang terdekat Dafa? Tapi tidak seperti ketika bertemu orangtuanya, ia istighfar berkali-kali, Dafa menangkap raut gelisah di wajah calon kekasihnya, “ada apa?” tanyanya lembut, hanya gelengan pelan yang di dapat dari jawaban Ayda, kembali hanya jejak langkah kaki yang terdengar mengiringi mereka sampai akhirnya memasuki masjid “Assalamu’alaykum bapak” suara Dafa terdengar renyah bahagia “Wa’alaykumsalam warrahmatullah wabarakatuh” jawaban terdengar, Ayda terhuyung kebelakang, ia sangat mengenali suara itu, dan wajahnya? “Oh Allah, pria itu…” ia hampir tak bisa menahan tubuhnya karena terguncang rasa kaget kalau tidak mencengkeram kuat pintu masjid. Selama ini dengan ego ia tidak mau menemuinya dan sekarang ia datang sendiri menyapanya “lelucon apa ini?” ia menatap nanar wajah calon suaminya yang memandang penuh tanya melihatnya pucat.

“Ayda, anak ku” ia mual mendengar pria itu menyebut namanya dengan lembut, “tidak..” teriak hatinya, tanpa pikir panjang ia meninggalkan mereka tanpa suara, tak perduli suara Dafa nyaring memanggilnya , ia hanya ingin menjauh, menjauh dan menghilangkan pria itu dari pandanganya, sampai akhirnya taksi membawanya pergi meninggalkan pemuda yang putus asa mengejarnya.***

Air matanya kembali tumpah, ia tak percaya jika pria itu seperti orang tua Dafa, ketakutan kembali melandanya, membuatnya sangat bimbang untuk kembali memutuskan masa depanya, jika Dafa dekat denganya bisa jadi Dafa akan sejahat ia, itulah yang ada di pikiranya, apalagi yang bisa membuat semangatnya bangkit? Bias-bias yang membuatnya kuat seperti terbang di bawa angin, ia takut, kalut, dan terluka. Semua karena ayahnya, trauma ini karena ayahnya. Ia tak lagi punya asa untuk Dafa, ia menjauhi pemuda tak berdosa itu. Ia mendongak , memandang bias-bias merah putih lambang semangatnya dengan sayu, bersama pelangi yang memudar.***

"Mohon Do'anya”

Batam , 20 Agustus 2008

Tiny

No comments:

Post a Comment