
afwan jiddan :) , artikel ini saya dapat dari email yang sahabat saya kirimkan, saya hanya ingin berbagi, siapa tau ukhti-ukhti sekalian, atau akhi yang mungkin sedikit tertarik membacanya, belum pernah membaca artikel ini.
Saya sempat meneteskan air mata membacanya :( , semoga ia dapat menjadi pelajaran berharga untuk kita semua, khususnya untukmu ukhti yang berniat mengabdikan diri untuk bekerja.
Menurut saya, tidak semua, wanita karir akan mengalami hal seperti ini, tapi mungkin ada, karena memang seorang ibu sangat di butuhkan untuk memperhatikan para buah hatinya, dan jika perhatian itu ternyata tidak mampu mereka (para wanita karir) berikan, maka bisa jadi kisah ini akan di alami, ada banyak hal yang menjadi sisi positif wanita karir, dan semoga sisi positif itu memang menjadi hal yang sangat luar biasa berharga.
Mahalnya sebuah karir untuk wanita
Sundari_Nurhidajant i
Saya seorang ibu dengan 2 orang anak , mantan direktur sebuah Perusahaan multinasional. Mungkin anda termasuk orang yang menganggap saya orang yang berhasil dalam karir namun sungguh jika seandainya saya boleh memilih maka saya akan berkata kalau lebih baik saya tidak seperti sekarang dan menganggap apa yang saya raih sungguh sia-sia.
Semuanya berawal ketika putri saya satu-satunya yang berusia 19 tahun baru saja meninggal karena overdosis narkotika. Sungguh hidup saya hancur berantakan karenanya, suami saya saat ini masih terbaring di rumah sakit karena terkena stroke dan mengalami kelumpuhan karena memikirkan musibah ini. Putera saya satu-satunya juga sempat mengalami depresi berat dan Sekarang masih dalam perawatan intensif sebuah klinik kejiwaan, dia juga merasa sangat terpukul dengan kepergian adiknya. Sungguh apa lagi yang bisa saya harapkan.
Kepergian Maya dikarenakan dia begitu guncang dengan kepergian Bik Inah pembantu kami. Hingga dia terjerumus dalam pemakaian Narkoba. Mungkin terdengar aneh kepergian seorang pembantu bisa membawa dampak Begitu hebat pada putri kami. Harus saya akui bahwa bik Inah sudah seperti keluarga bagi kami, dia telah ikut bersama kami sejak 20 tahun yang lalu dan ketika Doni berumur 2 tahun. Bahkan bagi Maya dan Doni , bik Inah sudah seperti ibu kandungnya sendiri.
Ini semua saya ketahui dari buku harian Maya yang saya baca setelah dia meninggal. Maya begitu cemas dengan sakitnya bik Inah, berlembar-lembar buku hariannya berisi hal ini. Dan ketika saya sakit saya pernah sakit karena kelelahan dan diopname di rumah sakit selama 3 minggu ) Maya hanya menulis singkat sebuah kalimat di buku hariannya "Hari ini Mama sakit di Rumah sakit" , hanya itu saja.
Sungguh hal ini menjadikan saya semakin terpukul. Tapi saya akui ini semua karena kesalahan saya. Begitu sedikitnya waktu saya untuk Doni, Maya dan Suami saya. Waktu saya habis di kantor, otak saya lebih banyak berpikir tentang keadaan perusahaan dari pada keadaan mereka. Berangkat jam 07:00 dan pulang di rumah 12 jam kemudian bahkan mungkin lebih. Ketika sudah sampai rumah rasanya sudah begitu capai untuk memikirkan urusan mereka. Memang setiap hari libur kami gunakan untuk acara keluarga, namun sepertinya itu hanya seremonial dan rutinitas saja, ketika hari Senin tiba saya dan suami sudah seperti "robot" yang terprogram untuk urusan kantor.
Sebenarnya ibu saya sudah berkali-kali mengingatkan saya untuk berhenti bekerja sejak Doni masuk SMA namun selalu saya tolak, saya anggap ibu terlalu kuno cara berpikirnya. . Memang Ibu saya memutuskan berhenti bekerja dan memilih membesarkan kami 6 orang anaknya. Padahal sebagai seorang sarjana ekonomi karir ibu waktu itu katanya sangat baik. Dan ayahpun ketika itu juga biasa-biasa saja dari segi karir dan penghasilan.
Meski jujur saya pernah berpikir untuk memutuskan berhenti bekerja dan mau mengurus Doni dan Maya, namun selalu saja perasaan bagaimana kebutuhan hidup bisa terpenuhi kalau berhenti bekerja, dan lalu apa gunanya saya sekolah tinggi-tinggi ?. Meski sebenarnya suami saya juga seorang yang cukup mapan dalam karirnya dan penghasilan. Dan biasanya setelah ada nasehat ibu saya menjadi lebih perhatian pada Doni dan Maya namun tidak lebih dari dua minggu semuanya kembali seperti asal urusan kantor dan karir fokus saya.
Dan kembali saya menganggap saya masih bisa membagi waktu untuk mereka, toh
teman yang lain di kantor juga bisa dan ungkapan "kualitas pertemuan dengan anak lebih penting dari kuantitas " selalu menjadi patokan saya. Sampai akhirnya semua terjadi dan diluar kendali saya dan berjalan begitu cepat sebelum saya sempat tersadar.
Maya berubah dari anak yang begitu manis menjadi pemakai Narkoba. Dan saya tidak mengetahuinya! !! Sebuah sindiran dan protes Maya saat ini selalu terngiang di telinga. Waktu itu bik Inah pernah memohon untuk berhenti bekerja dan memutuskan kembali ke desa untuk membesarkan Bagas, putera satu-satunya, setelah dia ditinggal mati suaminya . Namun karena Maya dan Doni keberatan maka akhirnya kami putuskan agar Bagas dibawa tinggal bersama kami.
Pengorbanan bik Inah buat Bagas ini sangat dibanggakan Maya. Namun sindiran Maya tidak begitu saya perhatikan. Akhirnya semua terjadi setelah tiba-tiba jatuh sakit kurang lebih dua minggu, bik Inah meninggal dunia di Rumah Sakit. Dari buku harian Maya saya juga baru tahu kenapa Doni malah pergi dari rumah ketika bik Inah di Rumah Sakit. Memang Doni pernah memohon pada ayahnya agar bik Inah dibawa ke Singapore untuk berobat setelah dokter di sini mengatakan bahwa bik Inah sudah masuk stadium 4 kankernya. Dan usul Doni kami tolak hingga dia begitu marah pada kami. Dari sini saya kini tahu betapa berartinya bik Inah buat mereka, sudah seperti ibu kandungnya! menggantikan tempat saya yang seolah hanya bertugas melahirkan mereka saja ke dunia. Tragis !
Dan sebuah foto "keluarga" di dinding kamar Maya sering saya amati Kalau lagi kangen dengannya. Beberapa bulan yang lalu kami sekeluarga ke desa bik Inah. Atas desakan Maya kami sekeluarga menghadiri acara pengangkatan Bagas sebagai kepala sekolah madrasah setelah dia selesai kuliah dan belajar di pesantren. Dan Doni pun begitu bersemangat untuk hadir di acara itu padahal dia paling susah untuk diajak ke acara serupa di kantor saya atau ayahnya. Dan difoto "keluarga" itu tampak bik Inah, Bagas, Doni dan Maya tersenyum bersama. Tak pernah kami lihat Maya begitu senang seperti saat itu dan seingat saya itulah foto terakhirnya.
Setelah bik Inah meninggal Maya begitu terguncang dan shock, kami sempat merisaukannya dan membawanya ke psikolog ternama di Jakarta. Namun sebatas itu yang kami lakukan setelah itu saya kembali berkutat dengan urusan kantor. Dan di halaman buku harian Maya penyesalan dan air mata tercurah.
Maya menulis :
"Ya Allah kenapa bik Inah meninggalkan Maya, terus siapa yang bangunin Maya, siapa yang nyiapin sarapan Maya, siapa yang nyambut Maya kalau pulang sekolah, Siapa yang ngingetin Maya buat sholat, siapa yang Maya cerita kalau lagi kesel di sekolah, siapa yang nemenin Maya kalo nggak bisa tidur....... ...Ya Allah, Maya kangen banget sama bik Inah "
Astagfirullah bukankah itu seharusnya tugas saya sebagai ibunya, bukan bik Inah ? Sungguh hancur hati saya membaca itu semua,namun semuanya sudah terlambat tidak mungkin bisa kembali, seandainya semua bisa berputar kebelakang saya rela berkorban apa saja untuk itu. Kadang saya merenung sepertinya ini hanya cerita sinetron di TV da n saya pemeran utamanya. Namun saya tersadar ini real dan kenyataan yang terjadi.
Sungguh saya menulis ini bukan berniat untuk menggurui siapapun tapi sekedar pengurang sesal saya semoga ada yang bisa mengambil pelajaran darinya. Biarkan saya yang merasakan musibah ini karena sungguh tiada terbayang beratnya.Semoga siapapun yang membaca tulisan ini bisa menentukan "prioritas hidup dan tidak salah dalam memilihnya". Biarkan saya seorang yang mengalaminya.
Saat ini saya sedang mengikuti program konseling/therapy dan mencoba aktif ikut dipengajian- pengajian untuk menentramkan hati saya. Berkat dorongan seorang teman saya beranikan tulis ini semua. Saya tidak ingin tulisan ini sebagai tempat penebus kesalahan saya, karena itu tidak mungkin!. Dan bukan pula untuk memaksa anda mempercayainya, tapi inilah faktanya. Hanya semoga ada yang memetik manfaatnya.
Dan saya berjanji untuk mengabdikan sisa umur saya untuk suami dan Doni.Dan semoga Allah mengampuni saya yang telah menyia-nyiakan amanahNya pada saya. Dan disetiap berdoa saya selalu memohon "YA Allah seandainya Engkau akan menghukum Maya karena kesalahannya, sungguh tangguhkanlah Ya Allah, biar saya yang menggantikan tempatnya kelak, biarkan buah hatiku tentram disisiMu". Semoga Allah mengabulkan doa saya...
Wallahualam bishshowab
Beberapa tanggapan yang saya ikut sertakan...
1. Pendapat Rika
sebenarnya gw juga bingung memilih antara karir dan keluarga.
kita kuliah untuk menjamin masa depan.. kuliah untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik, n demi keluarga kedepan..
apa memang harus kita korbankan usaha kita kuliah dan karir?
ada pendapat?
2. Tanggapan Reza
Sori ikutan sharing...
Menurut pendapat saya kondisi-kondisi seperti ini masih dapat disiasati. Secara gender/kodrat, tugas memberi nafkah bagi keluarga adalah tugas pria sebagai suami, sedangkan tugas wanita sebagai istri & ibu adalah merawat dan membina keluarga (anak-anak) agar dapat menjadi seorang yang berguna.
Namun demikian kondisi ekonomi saat ini menuntut pemasukan ganda (suami & istri bekerja) untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Beberapa teman menyiasati dengan melakukan usaha di rumah seperti membuka toko bunga, menjual produk rumah tangga, ikut MLM, dlsb, sementara suaminya bekerja di kantor. Pada intinya adalah bagaimana kita dapat memperoleh penghasilan tanpa mengorbankan keluarga.
Perlu disadari bahwa karir hanyalah sebuah titel/prestise/gengsi yang pada dasarnya tidak memberikan jaminan masa depan (karena pekerja dibatasi oleh usia pensiun). Pemikiran bahwa usaha membutuhkan modal tidaklah selalu berarti dalam bentuk uang. Pengetahuan, network, wawasan yang luas, adalah modal yang jauh lebih berharga dibanding uang. Uang dapat diperoleh dengan meminjam (bank ataupun orang lain), namun kreatifitas, kejelian dan semangat untuk mandiri adalah modal yang sepenuhnya berasal dari diri kita sendiri.
Saat inipun saya sedang merintis usaha tanaman hias, sebagian karena hobi & sisanya sebagai persiapan masa depan. Dana awal hanya sebesar Rp. 500.000 yang saya sisihkan dari gaji bulanan. Apakah ini akan berhasil...? Tidak ada yang tahu... Yang saya tahu hanyalah saya harus mulai melakukan sesuatu, setidaknya bagi diri saya sendiri.
Salam,
Reza
Hmm Pendapat mas Reza "subhanallah" :)Sundari_Nurhidajant i
Saya seorang ibu dengan 2 orang anak , mantan direktur sebuah Perusahaan multinasional. Mungkin anda termasuk orang yang menganggap saya orang yang berhasil dalam karir namun sungguh jika seandainya saya boleh memilih maka saya akan berkata kalau lebih baik saya tidak seperti sekarang dan menganggap apa yang saya raih sungguh sia-sia.
Semuanya berawal ketika putri saya satu-satunya yang berusia 19 tahun baru saja meninggal karena overdosis narkotika. Sungguh hidup saya hancur berantakan karenanya, suami saya saat ini masih terbaring di rumah sakit karena terkena stroke dan mengalami kelumpuhan karena memikirkan musibah ini. Putera saya satu-satunya juga sempat mengalami depresi berat dan Sekarang masih dalam perawatan intensif sebuah klinik kejiwaan, dia juga merasa sangat terpukul dengan kepergian adiknya. Sungguh apa lagi yang bisa saya harapkan.
Kepergian Maya dikarenakan dia begitu guncang dengan kepergian Bik Inah pembantu kami. Hingga dia terjerumus dalam pemakaian Narkoba. Mungkin terdengar aneh kepergian seorang pembantu bisa membawa dampak Begitu hebat pada putri kami. Harus saya akui bahwa bik Inah sudah seperti keluarga bagi kami, dia telah ikut bersama kami sejak 20 tahun yang lalu dan ketika Doni berumur 2 tahun. Bahkan bagi Maya dan Doni , bik Inah sudah seperti ibu kandungnya sendiri.
Ini semua saya ketahui dari buku harian Maya yang saya baca setelah dia meninggal. Maya begitu cemas dengan sakitnya bik Inah, berlembar-lembar buku hariannya berisi hal ini. Dan ketika saya sakit saya pernah sakit karena kelelahan dan diopname di rumah sakit selama 3 minggu ) Maya hanya menulis singkat sebuah kalimat di buku hariannya "Hari ini Mama sakit di Rumah sakit" , hanya itu saja.
Sungguh hal ini menjadikan saya semakin terpukul. Tapi saya akui ini semua karena kesalahan saya. Begitu sedikitnya waktu saya untuk Doni, Maya dan Suami saya. Waktu saya habis di kantor, otak saya lebih banyak berpikir tentang keadaan perusahaan dari pada keadaan mereka. Berangkat jam 07:00 dan pulang di rumah 12 jam kemudian bahkan mungkin lebih. Ketika sudah sampai rumah rasanya sudah begitu capai untuk memikirkan urusan mereka. Memang setiap hari libur kami gunakan untuk acara keluarga, namun sepertinya itu hanya seremonial dan rutinitas saja, ketika hari Senin tiba saya dan suami sudah seperti "robot" yang terprogram untuk urusan kantor.
Sebenarnya ibu saya sudah berkali-kali mengingatkan saya untuk berhenti bekerja sejak Doni masuk SMA namun selalu saya tolak, saya anggap ibu terlalu kuno cara berpikirnya. . Memang Ibu saya memutuskan berhenti bekerja dan memilih membesarkan kami 6 orang anaknya. Padahal sebagai seorang sarjana ekonomi karir ibu waktu itu katanya sangat baik. Dan ayahpun ketika itu juga biasa-biasa saja dari segi karir dan penghasilan.
Meski jujur saya pernah berpikir untuk memutuskan berhenti bekerja dan mau mengurus Doni dan Maya, namun selalu saja perasaan bagaimana kebutuhan hidup bisa terpenuhi kalau berhenti bekerja, dan lalu apa gunanya saya sekolah tinggi-tinggi ?. Meski sebenarnya suami saya juga seorang yang cukup mapan dalam karirnya dan penghasilan. Dan biasanya setelah ada nasehat ibu saya menjadi lebih perhatian pada Doni dan Maya namun tidak lebih dari dua minggu semuanya kembali seperti asal urusan kantor dan karir fokus saya.
Dan kembali saya menganggap saya masih bisa membagi waktu untuk mereka, toh
teman yang lain di kantor juga bisa dan ungkapan "kualitas pertemuan dengan anak lebih penting dari kuantitas " selalu menjadi patokan saya. Sampai akhirnya semua terjadi dan diluar kendali saya dan berjalan begitu cepat sebelum saya sempat tersadar.
Maya berubah dari anak yang begitu manis menjadi pemakai Narkoba. Dan saya tidak mengetahuinya! !! Sebuah sindiran dan protes Maya saat ini selalu terngiang di telinga. Waktu itu bik Inah pernah memohon untuk berhenti bekerja dan memutuskan kembali ke desa untuk membesarkan Bagas, putera satu-satunya, setelah dia ditinggal mati suaminya . Namun karena Maya dan Doni keberatan maka akhirnya kami putuskan agar Bagas dibawa tinggal bersama kami.
Pengorbanan bik Inah buat Bagas ini sangat dibanggakan Maya. Namun sindiran Maya tidak begitu saya perhatikan. Akhirnya semua terjadi setelah tiba-tiba jatuh sakit kurang lebih dua minggu, bik Inah meninggal dunia di Rumah Sakit. Dari buku harian Maya saya juga baru tahu kenapa Doni malah pergi dari rumah ketika bik Inah di Rumah Sakit. Memang Doni pernah memohon pada ayahnya agar bik Inah dibawa ke Singapore untuk berobat setelah dokter di sini mengatakan bahwa bik Inah sudah masuk stadium 4 kankernya. Dan usul Doni kami tolak hingga dia begitu marah pada kami. Dari sini saya kini tahu betapa berartinya bik Inah buat mereka, sudah seperti ibu kandungnya! menggantikan tempat saya yang seolah hanya bertugas melahirkan mereka saja ke dunia. Tragis !
Dan sebuah foto "keluarga" di dinding kamar Maya sering saya amati Kalau lagi kangen dengannya. Beberapa bulan yang lalu kami sekeluarga ke desa bik Inah. Atas desakan Maya kami sekeluarga menghadiri acara pengangkatan Bagas sebagai kepala sekolah madrasah setelah dia selesai kuliah dan belajar di pesantren. Dan Doni pun begitu bersemangat untuk hadir di acara itu padahal dia paling susah untuk diajak ke acara serupa di kantor saya atau ayahnya. Dan difoto "keluarga" itu tampak bik Inah, Bagas, Doni dan Maya tersenyum bersama. Tak pernah kami lihat Maya begitu senang seperti saat itu dan seingat saya itulah foto terakhirnya.
Setelah bik Inah meninggal Maya begitu terguncang dan shock, kami sempat merisaukannya dan membawanya ke psikolog ternama di Jakarta. Namun sebatas itu yang kami lakukan setelah itu saya kembali berkutat dengan urusan kantor. Dan di halaman buku harian Maya penyesalan dan air mata tercurah.
Maya menulis :
"Ya Allah kenapa bik Inah meninggalkan Maya, terus siapa yang bangunin Maya, siapa yang nyiapin sarapan Maya, siapa yang nyambut Maya kalau pulang sekolah, Siapa yang ngingetin Maya buat sholat, siapa yang Maya cerita kalau lagi kesel di sekolah, siapa yang nemenin Maya kalo nggak bisa tidur....... ...Ya Allah, Maya kangen banget sama bik Inah "
Astagfirullah bukankah itu seharusnya tugas saya sebagai ibunya, bukan bik Inah ? Sungguh hancur hati saya membaca itu semua,namun semuanya sudah terlambat tidak mungkin bisa kembali, seandainya semua bisa berputar kebelakang saya rela berkorban apa saja untuk itu. Kadang saya merenung sepertinya ini hanya cerita sinetron di TV da n saya pemeran utamanya. Namun saya tersadar ini real dan kenyataan yang terjadi.
Sungguh saya menulis ini bukan berniat untuk menggurui siapapun tapi sekedar pengurang sesal saya semoga ada yang bisa mengambil pelajaran darinya. Biarkan saya yang merasakan musibah ini karena sungguh tiada terbayang beratnya.Semoga siapapun yang membaca tulisan ini bisa menentukan "prioritas hidup dan tidak salah dalam memilihnya". Biarkan saya seorang yang mengalaminya.
Saat ini saya sedang mengikuti program konseling/therapy dan mencoba aktif ikut dipengajian- pengajian untuk menentramkan hati saya. Berkat dorongan seorang teman saya beranikan tulis ini semua. Saya tidak ingin tulisan ini sebagai tempat penebus kesalahan saya, karena itu tidak mungkin!. Dan bukan pula untuk memaksa anda mempercayainya, tapi inilah faktanya. Hanya semoga ada yang memetik manfaatnya.
Dan saya berjanji untuk mengabdikan sisa umur saya untuk suami dan Doni.Dan semoga Allah mengampuni saya yang telah menyia-nyiakan amanahNya pada saya. Dan disetiap berdoa saya selalu memohon "YA Allah seandainya Engkau akan menghukum Maya karena kesalahannya, sungguh tangguhkanlah Ya Allah, biar saya yang menggantikan tempatnya kelak, biarkan buah hatiku tentram disisiMu". Semoga Allah mengabulkan doa saya...
Wallahualam bishshowab
Beberapa tanggapan yang saya ikut sertakan...
1. Pendapat Rika
sebenarnya gw juga bingung memilih antara karir dan keluarga.
kita kuliah untuk menjamin masa depan.. kuliah untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik, n demi keluarga kedepan..
apa memang harus kita korbankan usaha kita kuliah dan karir?
ada pendapat?
2. Tanggapan Reza
Sori ikutan sharing...
Menurut pendapat saya kondisi-kondisi seperti ini masih dapat disiasati. Secara gender/kodrat, tugas memberi nafkah bagi keluarga adalah tugas pria sebagai suami, sedangkan tugas wanita sebagai istri & ibu adalah merawat dan membina keluarga (anak-anak) agar dapat menjadi seorang yang berguna.
Namun demikian kondisi ekonomi saat ini menuntut pemasukan ganda (suami & istri bekerja) untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Beberapa teman menyiasati dengan melakukan usaha di rumah seperti membuka toko bunga, menjual produk rumah tangga, ikut MLM, dlsb, sementara suaminya bekerja di kantor. Pada intinya adalah bagaimana kita dapat memperoleh penghasilan tanpa mengorbankan keluarga.
Perlu disadari bahwa karir hanyalah sebuah titel/prestise/gengsi yang pada dasarnya tidak memberikan jaminan masa depan (karena pekerja dibatasi oleh usia pensiun). Pemikiran bahwa usaha membutuhkan modal tidaklah selalu berarti dalam bentuk uang. Pengetahuan, network, wawasan yang luas, adalah modal yang jauh lebih berharga dibanding uang. Uang dapat diperoleh dengan meminjam (bank ataupun orang lain), namun kreatifitas, kejelian dan semangat untuk mandiri adalah modal yang sepenuhnya berasal dari diri kita sendiri.
Saat inipun saya sedang merintis usaha tanaman hias, sebagian karena hobi & sisanya sebagai persiapan masa depan. Dana awal hanya sebesar Rp. 500.000 yang saya sisihkan dari gaji bulanan. Apakah ini akan berhasil...? Tidak ada yang tahu... Yang saya tahu hanyalah saya harus mulai melakukan sesuatu, setidaknya bagi diri saya sendiri.
Salam,
Reza
Wassalamu'alaikum..
Sharing. Blog ini mungkin disukai para wanita, silahkan aja klik:
ReplyDeletehttp://www.eskrimnikmat.blogspot.com
http://www.airsehatberenergi.blogspot.com