“Tidak!!!” teriakan itu makin mengiris hatiku, aku hanya menyandarkan tubuhku di dinding rumah yang hampir pudar warna catnya. Berkali-kali aku hampir limbung namun dengan kekuatan asma Allah yang senantiasa ku sebut, ada energi baru yang seolah-olah menopangnya. Masih ku dengar teriakan tidak rela dari bibir wanita di balik kamar itu, anaknya yang masih belum genap dua tahun berusia memandangnya diam, seolah mengerti apa yang sebenarnya terjadi, aku tak sanggup beranjak mendekati wanita yang tak lain adalah kakak ku. Tak sanggup ku suarakan kata-kata penghibur untuknya sedangkan hatiku masih di liputi rasa tak percaya atas apa yang baru saja ku dengar, sedangkan aku juga merasakan sakit akan kehilangan sama sepertinya, air mataku tak bisa ku bendung lagi, meski aku berusaha menahanya dengan ikhlas atas kenyataan dan takdir Allah ini.
“Innalillahi wainna ilaihi Raji’un” ya tanggal 21 Juli 2008 tepatnya kami mendapat kabar duka, cobaan terberat seumur hidup ini kami alami, ayahku kembali kepada Nya, membuka pintu gaib kematian yang tak seorang pun tau bagaimana membukanya kecuali atas kehendak Ilahi.
Tentu saja masih terbayang jelas ketika bapak ( begitu kami memanggil ayah kami) dua minggu yang lalu sebelum beliau wafat, tepat nya selama satu bulan setengah menemani hari –hari kami di kota Batam, keadaanya yang segar bugar, auranya yang menampakan ketampanan (begitu kata tetangga kami) meski usianya tak lagi muda. Duhai Allah, ketampanan dan tubuh yang nampak bugar ternyata tak menghalangi kehendak Mu memanggilnya untuk kembali, begitu pula kami mungkin akan segera mengalaminya, meski sekarang kami masih kuat.
Dengungan bacaan surat Yasin mulai memenuhi sudut ruang tamu kami, bersama para tetangga yang hadir dengan sukarela, aku dan kedua kakak ku bersimpuh memegang Al Qur’an , mengirimkan sebuah do’a untuk bapak kami tercinta, untuk orang yang telah membimbing kami dengan segenap daya upaya nya menjadikan kami dewasa, mampu melihat hidup dari berbagai sisi, meski kadang ia seolah tetap menganggap kami anak-anaknya yang harus selalu di lindunginya, yah itulah naluri bapak sebagai seorang ayah yang sempurna, beliau memang tak memenuhi kebutuhan kami dengan mewah, tapi perjuanganya membuat kami sangat mencintainya, tanyakanlah pada ke enam saudara kami yang lain, betapa cinta mereka kepada bapak amat dalam.
***
Akhirnya… perjalanan yang cukup melelahkan ini mengantarkan kami pada sebuah rumah yang telah kami kenal setiap sudutnya, yang menyimpan ribuan kenangan tentang masa kecil kami hingga kami dewasa, tentang nyanyian-nyanyian sayang ayah untuk kami , tentang perjuangan ibu melahirkan hingga mendidik kami, ya bangunan itu adalah rumah kami, dapat ku lihat di dalam tampak wajah-wajah sendu, “ibu ku di mana dia” aku segera memeluknya menghapus air mata nya yang berlinang, aku tau ia begitu terluka, kehilangan seorang belahan jiwa, “ ah ibu, kuatkan hatimu, kelak kita pasti bisa berkumpul bersama lagi, dalam naungan kasih sayangNya, InsyaAllah”
***
Siapapun engkau “pembaca” terima kasih atas do’a yang engkau panjatkan untuk beliau, semoga Allah mengampuni beliau, memberikan cahaya di alam kubur beliau, amin.
Meski berselang lama aku baru memposting cerita ini, semua karena senyumku sempat memudar setelah kehilangan beliau, selalu ada air mata ketika mengingat beliau. Maafkan aku…
***
Tiny
Ku tundukan wajah dalam dingin yang membisu
Sendu , ingin ku berbagi pada alam yang terpukau
Kicau burung tak lagi merdu
Air mukaku bak tetesan yang membeku
Sama sepertimu, aku hanya mahluk yang lemah
Tak rela kenyataan merenggut senyuman
Namun seberapa kuat suara teriakan
Allah punya kehendak , tak seorang dapat mencegah
Sendu , ingin ku berbagi pada alam yang terpukau
Kicau burung tak lagi merdu
Air mukaku bak tetesan yang membeku
Sama sepertimu, aku hanya mahluk yang lemah
Tak rela kenyataan merenggut senyuman
Namun seberapa kuat suara teriakan
Allah punya kehendak , tak seorang dapat mencegah
“Innalillahi wainna ilaihi Raji’un” ya tanggal 21 Juli 2008 tepatnya kami mendapat kabar duka, cobaan terberat seumur hidup ini kami alami, ayahku kembali kepada Nya, membuka pintu gaib kematian yang tak seorang pun tau bagaimana membukanya kecuali atas kehendak Ilahi.
Tentu saja masih terbayang jelas ketika bapak ( begitu kami memanggil ayah kami) dua minggu yang lalu sebelum beliau wafat, tepat nya selama satu bulan setengah menemani hari –hari kami di kota Batam, keadaanya yang segar bugar, auranya yang menampakan ketampanan (begitu kata tetangga kami) meski usianya tak lagi muda. Duhai Allah, ketampanan dan tubuh yang nampak bugar ternyata tak menghalangi kehendak Mu memanggilnya untuk kembali, begitu pula kami mungkin akan segera mengalaminya, meski sekarang kami masih kuat.
Dengungan bacaan surat Yasin mulai memenuhi sudut ruang tamu kami, bersama para tetangga yang hadir dengan sukarela, aku dan kedua kakak ku bersimpuh memegang Al Qur’an , mengirimkan sebuah do’a untuk bapak kami tercinta, untuk orang yang telah membimbing kami dengan segenap daya upaya nya menjadikan kami dewasa, mampu melihat hidup dari berbagai sisi, meski kadang ia seolah tetap menganggap kami anak-anaknya yang harus selalu di lindunginya, yah itulah naluri bapak sebagai seorang ayah yang sempurna, beliau memang tak memenuhi kebutuhan kami dengan mewah, tapi perjuanganya membuat kami sangat mencintainya, tanyakanlah pada ke enam saudara kami yang lain, betapa cinta mereka kepada bapak amat dalam.
***
Akhirnya… perjalanan yang cukup melelahkan ini mengantarkan kami pada sebuah rumah yang telah kami kenal setiap sudutnya, yang menyimpan ribuan kenangan tentang masa kecil kami hingga kami dewasa, tentang nyanyian-nyanyian sayang ayah untuk kami , tentang perjuangan ibu melahirkan hingga mendidik kami, ya bangunan itu adalah rumah kami, dapat ku lihat di dalam tampak wajah-wajah sendu, “ibu ku di mana dia” aku segera memeluknya menghapus air mata nya yang berlinang, aku tau ia begitu terluka, kehilangan seorang belahan jiwa, “ ah ibu, kuatkan hatimu, kelak kita pasti bisa berkumpul bersama lagi, dalam naungan kasih sayangNya, InsyaAllah”
***
Siapapun engkau “pembaca” terima kasih atas do’a yang engkau panjatkan untuk beliau, semoga Allah mengampuni beliau, memberikan cahaya di alam kubur beliau, amin.
Meski berselang lama aku baru memposting cerita ini, semua karena senyumku sempat memudar setelah kehilangan beliau, selalu ada air mata ketika mengingat beliau. Maafkan aku…
***
Tiny
No comments:
Post a Comment