Lagi-lagi aku harus berhadapan denganya kali ini, bukan karena aku rindu tapi karena satu keputusan akhir yang ingin ku sampaikan padanya, “aku tidak ingin kejadian ini membuatku menjadi was-was sepanjang pernikahan kita nanti” ujarku memulai pembicaraan “membangun kepercayaan seperti halnya engkau tau tidak semudah membalikan telapak tangan”lanjutku tanpa memandang wajahnya, aku tidak tau bagaimana cara memandangnya padaku detik ini, apakah marah, benci, sakit hati atau sama dengan luka yang belum jua kering dari hatiku ini. “telah beberapa kali sholat istikharah ku lakukan dan jawabanya tetap sama, aku masih sangat terluka dan bayangan kalian pada waktu itu masih saja berputar jelas di ingatanku, itu adalah adegan yang aku harapkan sebagai mimpi buruk yang tak pernah hadir tapi kenyataanya dia pernah ku lihat dengan pandangan yang benar-benar nyata” tak kudengar ia membantah ucapanku sedikitpun, kenapa? Ingin rasanya aku memandang matanya melihat mimik wajahnya, tapi rasa takut menjalar di peredaran darahku, aku pernah merasakan debaran aneh ketika bertatapan mata denganya , debaran yang akhirnya membuatku memutuskan hal penting sebagai tapak awal dalam langkah hidupku, menguak pintu lebar-lebar untuknya dan juga keluarganya membicarakan tentang pernikahan kami, apakah aku akan mengalaminya lagi setelah memandang wajahnya? Aku tidak tau karena aku masih menunduk kaku, mengatur nafas yang seolah putus asa karena kecemburuanku.
sesaat lamanya menguasai kami , membiarkan kami tenggelam dalam kecamuk perasaan yang tak sepaham lagi, aku merasakan detak jantung ini berirama lebih cepat dari biasanya , aku menunggu suaranya, suara yang ingin ku redam dari ingatanku karena pernah sangat ku rindukan , suara yang pernah membuatku berangan akan keluarga bahagia karena dawainya bernada mesra dan menggugah rasa “astaghfirullahaladzim” aku beristighfar dalam hati untuk kemudian menyusun kekuatan memintanya berbicara, “bicaralah sepatah kata” satu suara tersekat di tenggorokanku, kebingungan akan suasana hening yang tak jua berubah makin membuatku tak percaya diri berada di sana hanya denganya, pandanganku beralih pada alam kulihat sekawanan burung gereja terbang melintas ,aku menikmatinya sekilas dari beranda rumah orang tua ku tempat kami bertemu saat ini. Senja kali ini berkabut , entahlah apa itu terjadi seperti kabut tebal yang menyelimutiku akhir-akhir ini? Dari ujung timur bergumpal-gumpal mendung hitam berjejer, aku harap pria di hadapanku ini tak akan lama menyuarakan sebuah kepastian akhir dari masalah kami, karena tanda-tanda hujan yang akan segera tiba membuatku was-was ia akan lebih lama bertamu di rumah ini , atau akan ku biarkan ia pamit sementara alam tak begitu bersahabat, kecemburuanku tentu saja tidak membuatku menjadi wanita tidak berperasaan. Sementara dulu aku selalu ingin ia berada di sampingku mendendangkan berbait-bait lagu cinta dan tak rela ia beranjak dari sana. Ah perempuan, ia bisa mencintai dengan sempurna namun begitu susah menerima logika.
“aku juga lelah…” terdengar suara berat membuyarkan lamunanku “lelah membuatmu percaya bahwa kami hanya bersahabat” ku dengar suaranya bergetar, entah kenapa membuat perasaanku pilu “aku lelah meninggikan sebuah harapan tentang maaf dan kesetiaan, kecemburuanmu hadir karena aku tau ada cinta yang dahsyat di hatimu untuk ku, tapi sayang.. engkau tak bisa mengendalikan nya, entah berapa kali aku meminta maaf padamu, aku menyesali hal yang terjadi masa itu, entahlah.. hari itu aku seolah masih berada di masa lalu..” ia menghentikan ucapanya dengan dengan lenguhan, aku masih menunggu, ada apa dengan masa lalu? Aku tidak pernah tau dengan masa lalunya, karena aku tidak pernah bertanya, jantungku berdegup tak normal, aku merasa takut mendengar hal buruk tentang masa lalunya, aku ingin tau? Tapi untuk apa? Untuk merubah keputusanku? Atau akan makin memperburuk image nya di mataku?
***
Rasa mual menyerang daya pembauanku , rasanya aku tidak ingin berlama-lama berada di sana, suara para penjual di pasar dari segala penjuru seolah juga ikut menyerang daya pendengaranku, kini aku tau seorang ibu rumah tangga tidak hanya letih di rumah menghadapi berbagai pekerjaan hingga anak-anak, mereka juga harus bergelut dengan rangkaian kegiatan di pasar seperti yang harus ku lakukan untuk menggantikan saudaraku kali ini, aku belum bisa membayangkan mereka sanggup menghadapi ini setiap minggu atau bahkan setiap hari, menghadapi kata-kata pedas dari para penjual yang kadang tidak suka dengan penawaran mereka yang berlebihan, terlalu banyak problema di dunia ini, yang katanya hanya tempat mampir sementara, saat aku berusaha menghindari lantai becek karena cipratan air dari tempat ikan-ikan berjejer di sebelahnya tiba-tiba aku di kagetkan oleh ketidak sengajaanku menabrak seseorang.
“duh maaf mbak, saya tidak sengaja, maaf yach” ujarku membungkuk menyembunyikan wajahku di balik jilbab hitam yang ku kenakan “mbak Anis ya?” suara lembut sebagai jawaban ia mengenalku membuatku sontak mendongak , aku tidak bersuara ketika sekelebat bayangan muncul di ingatanku , gadis di hadapanku adalah seseorang yang membuatku berbalik keputusan meninggalkan calon suamiku “subhanallah mbak, saya sungguh ingin bertemu dengan anda, dan Allah mengabulkan do’a saya” ia berujar yang membuatku ternganga, gadis ini meminta pada Allah hanya untuk menemui orang sepertiku, aku yakin ada masalah yang sangat serius. Atau memang masalah yang sama, yang sudah berakhir sepekan yang lalu. “mbak” aku tergagap , buyar lamunanku.
***
Beberapa kali aku membanting tubuhku ke kanan dan kekiri untuk bisa terlelap, tapi hasilnya nihil ada yang jelas terngiang di telingaku, bahkan seolah-olah aku menangkap sebuah drama dari ceritanya “ini salah saya mbak, sungguh…” ia memulai kisah nya “sejak kejadian itu mas Hadi sama sekali tidak ingin bertemu dengan saya, awalnya saya bingung kenapa, tapi setelah saya dengar mbak memutuskan untuk membatalkan pernikahan itu , saya sungguh sangat merasa berdosa, hari-hari saya lalui dengan perasaan yang sangat tersiksa, mbak saya ingin bertemu mbak untuk menjelaskan semuanya , menjelaskan bahwa mas Hadi sudah berubah sekarang, kami memang sangat bersahabat sejak dulu sejak kami belum mengerti apa itu hidup…” sesaat lamanya ia terdiam, mengusap buliran bening yang mengalir dari kelopak mata indahnya, perasaanku campur aduk, secara naluri aku merengkuhnya, membiarkan ia sesenggukan dia atas bahuku. Rasa bersalah karena membuatnya tersiksa tiba-tiba menyadarkanku , apa mungkin karena aku terlalu ego? Atau karena terlalu cemburu?. Itu karena aku tidak tau ia juga ikut merasakan luka karena keputusanku.
Ku langkahkan kaki ku menuju padasan, membasuh wajah yang penuh dosa dengan air wudlu, mengharap ampunan Allah jika sekiranya keputusan yang pernah ku ambil sangat melukai banyak orang, jika akhirnya kecemburuan yang datangnya dari Nya akhirnya menjadi ego yang merupakan bisikan syaiton, setelah sholat dua rakaat ku lalui, kuraih handphone butut ku, memencet sebuat nomor yang hampir ku hapus karena pemiliknya ingin ku lupakan, “ Nomor tidak aktif” aku mengeluh, ku coba lagi, tetap dengan jawaban sama, “kenapa?” aku menerawang mencapai puncak langit kamarku menembusnya hingga seperti menemukan jejeran mendung bergumpal di atas sana.
“Anisa” aku menoleh , melihatnya wajah gundah yang menatapku sayu “Mas Hadi, apa yang mas lakukan di sini?” aku seperti tak menyadari suaraku telah lembut kembali padanya, bukankah aku telah mencarinya dan ingin meminta maaf padanya. “Anisa” lagi-lagi ia memanggilku tanpa menjawab pertanyaanku, aku memandang sekitar hanya ilalang yang bertebaran di sepanjang penglihatanku, “tempat apa ini? Kenapa aku dan mas Hadi terjebak di tempat ini, kenapa ia tiba-tiba ada di belakangku dan hanya memanggilku?” aku kembali memandangnya, kami berpandangan ada getaran cinta yang membuat wajahku bersemu merah, ah tapi tatapannya masih sayu, “mas Hadi , maafkan aku” ujarku terbata , ia mengangguk lemah, kemudian mundur beberapa langkah, “ mau kemana?” tanyaku cepat menghentikan langkahnya , tapi ia berbalik pergi , tak perduli dengan teriakanku , aku tak menemukan jejaknya , hanya buliran bening di sertai isakan tangis yang meledak.***
Mata sinis mereka memandangku angkuh, aku tau kenapa, keputusanku memang telah merubah banyak hal termasuk sikap mereka yang manis padaku dulu. Ucapan salam yang ku haturkan pun seolah bagai angin lalu, tak ada yang menyambut kedatanganku di rumah yang dulu begitu hangat menyapaku, aku tak berniat lama memang, hanya ingin meminta maaf kepada mas Hadi yang sejak semalam tak bias ku jumpai lewat telpon selulernya “mbak Anis” sebuah suara membuatku menoleh, seorang gadis berjilbab putih lengkap dengan seragam SMU nya menghambur ke arahku, ia memeluk ku hangat , ketika itu kusadari ia menangis di pelukanku “Ifa sayang, ada apa de’?kok nangis?” ujarku menangkap matanya yang sayu “Ifa kangen mbak Anis , mas hadi juga” jawabnya polos, aku diam dengan gemuruh perasaan tak menentu di dadaku “mbak sudah ketemu mas Hadi khan?” tanyanya lagi , aku menggeleng pelan , aku terhenyak ketika ia menarik lenganku menuju jalan raya dan kemudian menyetop taxi, aku masih belum sadar ketika dia telah membawaku entah kemana “kita mau kemana de’?” tanyaku gugup “mbak harus liat mas Hadi” jawabnya terpotong.”rumah sakit ya pak” ujarnya, aku melongo, heran dengan tingkahnya “rumah sakit, siapa yang sakit de’?” aku mulai gugup , memandangnya dengan penuh tanya, namun ia menggeleng pelan.
Aku hanya istighfar di sepanjang perjalanan yang bagiku begitu panjang dan sangat melelahkan, apa ini pertanda mimpi ketika ia menjauh dariku? “Allahurabbi, jangan biarkan hamba terlambat memulai hal yang tertunda, hamba tau Engkau lebih mengetahui yang terbaik untuk hamba, namun izinkan hamba meminta ya Rahman” doaku dengan air mata yang hampir menganak sungai di pipiku.
***
Ah.. lagi-lagi aku harus menghadapi pandangan yang sama dari orang tua mas Hadi, bahkan di barengi aksi melarang ku menjenguk mas Hadi yang tergolek di kamar rumah sakit, perasaan kikuk sungguh sangat membuatku tak nyaman, hanya Ifa adik bungsu mas Hadi yang bisa ku andalkan, dari jauh ku pandangi ia merayu sang mama yang hanya kaku tak bereaksi
“mas mu sedang sakit, dan mama tidak mau wanita sok jual mahal itu membuatnya makin parah…” suara samar itu menusuk telingaku, “sok jual mahal” adalah kata-kata yang menyakitkan, atau pantas untuk ku, pandanganku kembali berkaca-kaca namun ku tahan sekuat tenaga.
“tapi ma, mas butuh mbak Anis, mama ga boleh lupa, bagaimana tiap malam mas Hadi memanggil nama mbak Anis, dan meminta maaf padanya, ini adalah moment dimana mas Hadi bisa melepaskan rasa bersalahnya” aku makin luruh dalam nestapa , mas Hadi ternyata sosok yang lemah dan tersiksa dengan apa yang telah terjadi.
Akhirnya kesempatan itu di berikan juga , meski hanya lima menit, ya just five minute for tell him that still any love in my heart.
“Assalamu’alaykum” sapaku meski hanya hening jawabanya, Ifa meninggalkan kami, ku pandangi ia yang pucat dengan berbagai selang medis dan perban, Ia telah melewati masa kritis atas kecelakaan barusan, namun belum siuman. Ku ambil tempat tepat di samping wajahnya, dia tetap terlihat tampan bagiku, itu sejenak ku lupakan karena kecemburuan yang sekarang entah sirna bersama aliran wudlu dan keikhlasan yang membasuh ku semalam.
“maaf” hanya itu yang sanggup meluncur di bibirku, selebih nya cukup bersenandung sendu di hatiku “don’t leave me” . zikir dan ayat Ilahi yang kuhafal ku lafalkan dengan lirih, “Allah, Allah , Allah, pertolongan Nya Maha Dahsyat” harapanku cukup ku bisikan pada Nya, pada Sang Pemberi kesembuhan.
“lima menit mbak” bisikan Ifa menyadarkanku ,kembali ku pandangi setiap millimeter wajahnya yang pasi, aku tak pernah berharap itu kali terakhir aku memandangnya,
***
“kenapa memandangku begitu?”
“karena aku mencari cintamu padaku”
“siapa bilang aku mencintaimu?”
“kecemburuanmu masa itu yang bilang, kesetiaanmu, keteguhanmu”
“aku tidak se sempurna itu”
“bukan kesempurnaan yang ku cari dari jiwamu, karena kesempurnaan cukup Allah yang memegangnya, kecemburuanmu adalah jalanku menuju cinta hakiki pada Allah, kesetiaanmu mengajariku akan penghambaan pada Allah, keteguhanmu adalah bentengku dalam jihad di jalan Allah, engkau bidadariku dan InsyaAllah akan tetap jadi bidadariku sepanjang perjalanan hidup dunia dan akhirat”
Aku tersipu, wajahku bersemu dadu mendengar pernyataan suamiku , dia yang telah mengajariku arti cemburu, dia mas Hadi ku
(end).
Batam, 12 November 2008
“di tengah amukan rasa, aku hanya ingin satu tidak lebih, yang menerbitkan kecemburuan, dan mendekatkan aku dengan Sang Empunya jiwaku”
sesaat lamanya menguasai kami , membiarkan kami tenggelam dalam kecamuk perasaan yang tak sepaham lagi, aku merasakan detak jantung ini berirama lebih cepat dari biasanya , aku menunggu suaranya, suara yang ingin ku redam dari ingatanku karena pernah sangat ku rindukan , suara yang pernah membuatku berangan akan keluarga bahagia karena dawainya bernada mesra dan menggugah rasa “astaghfirullahaladzim” aku beristighfar dalam hati untuk kemudian menyusun kekuatan memintanya berbicara, “bicaralah sepatah kata” satu suara tersekat di tenggorokanku, kebingungan akan suasana hening yang tak jua berubah makin membuatku tak percaya diri berada di sana hanya denganya, pandanganku beralih pada alam kulihat sekawanan burung gereja terbang melintas ,aku menikmatinya sekilas dari beranda rumah orang tua ku tempat kami bertemu saat ini. Senja kali ini berkabut , entahlah apa itu terjadi seperti kabut tebal yang menyelimutiku akhir-akhir ini? Dari ujung timur bergumpal-gumpal mendung hitam berjejer, aku harap pria di hadapanku ini tak akan lama menyuarakan sebuah kepastian akhir dari masalah kami, karena tanda-tanda hujan yang akan segera tiba membuatku was-was ia akan lebih lama bertamu di rumah ini , atau akan ku biarkan ia pamit sementara alam tak begitu bersahabat, kecemburuanku tentu saja tidak membuatku menjadi wanita tidak berperasaan. Sementara dulu aku selalu ingin ia berada di sampingku mendendangkan berbait-bait lagu cinta dan tak rela ia beranjak dari sana. Ah perempuan, ia bisa mencintai dengan sempurna namun begitu susah menerima logika.
“aku juga lelah…” terdengar suara berat membuyarkan lamunanku “lelah membuatmu percaya bahwa kami hanya bersahabat” ku dengar suaranya bergetar, entah kenapa membuat perasaanku pilu “aku lelah meninggikan sebuah harapan tentang maaf dan kesetiaan, kecemburuanmu hadir karena aku tau ada cinta yang dahsyat di hatimu untuk ku, tapi sayang.. engkau tak bisa mengendalikan nya, entah berapa kali aku meminta maaf padamu, aku menyesali hal yang terjadi masa itu, entahlah.. hari itu aku seolah masih berada di masa lalu..” ia menghentikan ucapanya dengan dengan lenguhan, aku masih menunggu, ada apa dengan masa lalu? Aku tidak pernah tau dengan masa lalunya, karena aku tidak pernah bertanya, jantungku berdegup tak normal, aku merasa takut mendengar hal buruk tentang masa lalunya, aku ingin tau? Tapi untuk apa? Untuk merubah keputusanku? Atau akan makin memperburuk image nya di mataku?
***
Rasa mual menyerang daya pembauanku , rasanya aku tidak ingin berlama-lama berada di sana, suara para penjual di pasar dari segala penjuru seolah juga ikut menyerang daya pendengaranku, kini aku tau seorang ibu rumah tangga tidak hanya letih di rumah menghadapi berbagai pekerjaan hingga anak-anak, mereka juga harus bergelut dengan rangkaian kegiatan di pasar seperti yang harus ku lakukan untuk menggantikan saudaraku kali ini, aku belum bisa membayangkan mereka sanggup menghadapi ini setiap minggu atau bahkan setiap hari, menghadapi kata-kata pedas dari para penjual yang kadang tidak suka dengan penawaran mereka yang berlebihan, terlalu banyak problema di dunia ini, yang katanya hanya tempat mampir sementara, saat aku berusaha menghindari lantai becek karena cipratan air dari tempat ikan-ikan berjejer di sebelahnya tiba-tiba aku di kagetkan oleh ketidak sengajaanku menabrak seseorang.
“duh maaf mbak, saya tidak sengaja, maaf yach” ujarku membungkuk menyembunyikan wajahku di balik jilbab hitam yang ku kenakan “mbak Anis ya?” suara lembut sebagai jawaban ia mengenalku membuatku sontak mendongak , aku tidak bersuara ketika sekelebat bayangan muncul di ingatanku , gadis di hadapanku adalah seseorang yang membuatku berbalik keputusan meninggalkan calon suamiku “subhanallah mbak, saya sungguh ingin bertemu dengan anda, dan Allah mengabulkan do’a saya” ia berujar yang membuatku ternganga, gadis ini meminta pada Allah hanya untuk menemui orang sepertiku, aku yakin ada masalah yang sangat serius. Atau memang masalah yang sama, yang sudah berakhir sepekan yang lalu. “mbak” aku tergagap , buyar lamunanku.
***
Beberapa kali aku membanting tubuhku ke kanan dan kekiri untuk bisa terlelap, tapi hasilnya nihil ada yang jelas terngiang di telingaku, bahkan seolah-olah aku menangkap sebuah drama dari ceritanya “ini salah saya mbak, sungguh…” ia memulai kisah nya “sejak kejadian itu mas Hadi sama sekali tidak ingin bertemu dengan saya, awalnya saya bingung kenapa, tapi setelah saya dengar mbak memutuskan untuk membatalkan pernikahan itu , saya sungguh sangat merasa berdosa, hari-hari saya lalui dengan perasaan yang sangat tersiksa, mbak saya ingin bertemu mbak untuk menjelaskan semuanya , menjelaskan bahwa mas Hadi sudah berubah sekarang, kami memang sangat bersahabat sejak dulu sejak kami belum mengerti apa itu hidup…” sesaat lamanya ia terdiam, mengusap buliran bening yang mengalir dari kelopak mata indahnya, perasaanku campur aduk, secara naluri aku merengkuhnya, membiarkan ia sesenggukan dia atas bahuku. Rasa bersalah karena membuatnya tersiksa tiba-tiba menyadarkanku , apa mungkin karena aku terlalu ego? Atau karena terlalu cemburu?. Itu karena aku tidak tau ia juga ikut merasakan luka karena keputusanku.
Ku langkahkan kaki ku menuju padasan, membasuh wajah yang penuh dosa dengan air wudlu, mengharap ampunan Allah jika sekiranya keputusan yang pernah ku ambil sangat melukai banyak orang, jika akhirnya kecemburuan yang datangnya dari Nya akhirnya menjadi ego yang merupakan bisikan syaiton, setelah sholat dua rakaat ku lalui, kuraih handphone butut ku, memencet sebuat nomor yang hampir ku hapus karena pemiliknya ingin ku lupakan, “ Nomor tidak aktif” aku mengeluh, ku coba lagi, tetap dengan jawaban sama, “kenapa?” aku menerawang mencapai puncak langit kamarku menembusnya hingga seperti menemukan jejeran mendung bergumpal di atas sana.
“Anisa” aku menoleh , melihatnya wajah gundah yang menatapku sayu “Mas Hadi, apa yang mas lakukan di sini?” aku seperti tak menyadari suaraku telah lembut kembali padanya, bukankah aku telah mencarinya dan ingin meminta maaf padanya. “Anisa” lagi-lagi ia memanggilku tanpa menjawab pertanyaanku, aku memandang sekitar hanya ilalang yang bertebaran di sepanjang penglihatanku, “tempat apa ini? Kenapa aku dan mas Hadi terjebak di tempat ini, kenapa ia tiba-tiba ada di belakangku dan hanya memanggilku?” aku kembali memandangnya, kami berpandangan ada getaran cinta yang membuat wajahku bersemu merah, ah tapi tatapannya masih sayu, “mas Hadi , maafkan aku” ujarku terbata , ia mengangguk lemah, kemudian mundur beberapa langkah, “ mau kemana?” tanyaku cepat menghentikan langkahnya , tapi ia berbalik pergi , tak perduli dengan teriakanku , aku tak menemukan jejaknya , hanya buliran bening di sertai isakan tangis yang meledak.***
Mata sinis mereka memandangku angkuh, aku tau kenapa, keputusanku memang telah merubah banyak hal termasuk sikap mereka yang manis padaku dulu. Ucapan salam yang ku haturkan pun seolah bagai angin lalu, tak ada yang menyambut kedatanganku di rumah yang dulu begitu hangat menyapaku, aku tak berniat lama memang, hanya ingin meminta maaf kepada mas Hadi yang sejak semalam tak bias ku jumpai lewat telpon selulernya “mbak Anis” sebuah suara membuatku menoleh, seorang gadis berjilbab putih lengkap dengan seragam SMU nya menghambur ke arahku, ia memeluk ku hangat , ketika itu kusadari ia menangis di pelukanku “Ifa sayang, ada apa de’?kok nangis?” ujarku menangkap matanya yang sayu “Ifa kangen mbak Anis , mas hadi juga” jawabnya polos, aku diam dengan gemuruh perasaan tak menentu di dadaku “mbak sudah ketemu mas Hadi khan?” tanyanya lagi , aku menggeleng pelan , aku terhenyak ketika ia menarik lenganku menuju jalan raya dan kemudian menyetop taxi, aku masih belum sadar ketika dia telah membawaku entah kemana “kita mau kemana de’?” tanyaku gugup “mbak harus liat mas Hadi” jawabnya terpotong.”rumah sakit ya pak” ujarnya, aku melongo, heran dengan tingkahnya “rumah sakit, siapa yang sakit de’?” aku mulai gugup , memandangnya dengan penuh tanya, namun ia menggeleng pelan.
Aku hanya istighfar di sepanjang perjalanan yang bagiku begitu panjang dan sangat melelahkan, apa ini pertanda mimpi ketika ia menjauh dariku? “Allahurabbi, jangan biarkan hamba terlambat memulai hal yang tertunda, hamba tau Engkau lebih mengetahui yang terbaik untuk hamba, namun izinkan hamba meminta ya Rahman” doaku dengan air mata yang hampir menganak sungai di pipiku.
***
Ah.. lagi-lagi aku harus menghadapi pandangan yang sama dari orang tua mas Hadi, bahkan di barengi aksi melarang ku menjenguk mas Hadi yang tergolek di kamar rumah sakit, perasaan kikuk sungguh sangat membuatku tak nyaman, hanya Ifa adik bungsu mas Hadi yang bisa ku andalkan, dari jauh ku pandangi ia merayu sang mama yang hanya kaku tak bereaksi
“mas mu sedang sakit, dan mama tidak mau wanita sok jual mahal itu membuatnya makin parah…” suara samar itu menusuk telingaku, “sok jual mahal” adalah kata-kata yang menyakitkan, atau pantas untuk ku, pandanganku kembali berkaca-kaca namun ku tahan sekuat tenaga.
“tapi ma, mas butuh mbak Anis, mama ga boleh lupa, bagaimana tiap malam mas Hadi memanggil nama mbak Anis, dan meminta maaf padanya, ini adalah moment dimana mas Hadi bisa melepaskan rasa bersalahnya” aku makin luruh dalam nestapa , mas Hadi ternyata sosok yang lemah dan tersiksa dengan apa yang telah terjadi.
Akhirnya kesempatan itu di berikan juga , meski hanya lima menit, ya just five minute for tell him that still any love in my heart.
“Assalamu’alaykum” sapaku meski hanya hening jawabanya, Ifa meninggalkan kami, ku pandangi ia yang pucat dengan berbagai selang medis dan perban, Ia telah melewati masa kritis atas kecelakaan barusan, namun belum siuman. Ku ambil tempat tepat di samping wajahnya, dia tetap terlihat tampan bagiku, itu sejenak ku lupakan karena kecemburuan yang sekarang entah sirna bersama aliran wudlu dan keikhlasan yang membasuh ku semalam.
“maaf” hanya itu yang sanggup meluncur di bibirku, selebih nya cukup bersenandung sendu di hatiku “don’t leave me” . zikir dan ayat Ilahi yang kuhafal ku lafalkan dengan lirih, “Allah, Allah , Allah, pertolongan Nya Maha Dahsyat” harapanku cukup ku bisikan pada Nya, pada Sang Pemberi kesembuhan.
“lima menit mbak” bisikan Ifa menyadarkanku ,kembali ku pandangi setiap millimeter wajahnya yang pasi, aku tak pernah berharap itu kali terakhir aku memandangnya,
***
“kenapa memandangku begitu?”
“karena aku mencari cintamu padaku”
“siapa bilang aku mencintaimu?”
“kecemburuanmu masa itu yang bilang, kesetiaanmu, keteguhanmu”
“aku tidak se sempurna itu”
“bukan kesempurnaan yang ku cari dari jiwamu, karena kesempurnaan cukup Allah yang memegangnya, kecemburuanmu adalah jalanku menuju cinta hakiki pada Allah, kesetiaanmu mengajariku akan penghambaan pada Allah, keteguhanmu adalah bentengku dalam jihad di jalan Allah, engkau bidadariku dan InsyaAllah akan tetap jadi bidadariku sepanjang perjalanan hidup dunia dan akhirat”
Aku tersipu, wajahku bersemu dadu mendengar pernyataan suamiku , dia yang telah mengajariku arti cemburu, dia mas Hadi ku
(end).
Batam, 12 November 2008
“di tengah amukan rasa, aku hanya ingin satu tidak lebih, yang menerbitkan kecemburuan, dan mendekatkan aku dengan Sang Empunya jiwaku”
No comments:
Post a Comment