Assalamu'alaykum, selamat datang di blog sederhana saya, selamat membaca! silahkan berkomentar & tinggalkan link anda untuk di kunjungi, terima kasih

Tuesday, 3 March 2009

Mawar Kesukaannya

Bayangan bunga mawar itu terpantul di cermin, Nuha memandangnya takjub, ia baru membuka matanya ketika mendapati bunga itu ada di sampingnya , ia memang menyukai bunga mawar sejak dulu. segera ia buka kartu pengantar yang terselip di dalam ikatan tiga tangkai mawar yang di pegangnya

Untuk bidadari bersayap putih
Aku melihat senyumanmu sekarang
Aku mendengar engkau mengucap “subhanallah”
Keindahan ciptaan Nya memang tak sebanding dengan apapun
Semoga lekas sembuh
*Iqbal*

Raut wajah Nuha berubah muram, ia lepaskan bunga hingga jatuh ke lantai di sisi sebelah kanannya, sekelebat bayangan ikhwan atas nama Iqbal membuat kelopak matanya terasa panas menahan air mata,
***

“tidak usah memperdulikanku lagi”
“kenapa?”
“aku tidak perlu memberi tau alasannya padamu”
“tapi, kenapa?”
“jangan memaksaku”
Nuha berjalan meninggalkan Iqbal yang tampak menahan emosi, namun belum jauh berjalan, Nuha limbung dan sontak membuat Iqbal berlari mendapatinya.
“anda siapanya pasien”
“saya temannya dok”
“di mana keluarganya?”
“dalam perjalanan, Nuha sakit apa dok”
“tidak apa, hanya kurang istirahat”
“tapi ada darah yang mengalir di hidungnya”
“hanya mimisan biasa, ini resepnya”
***

Bulan masih berpendar di sepertiga malam, sinarnya merasuk melalui celah-celah dinding rumah , angin berhembus cukup kencang, Nuha merapatkan jaketnya ketika ia menuju kamar mandi. Menikmati basuhan air wudlu yang sedingin es.
“aku tau engkau sedang bermunajat di hadapan Nya, do’akan aku ya ukhti, karena Rosulullah bersabda "Do'a seorang muslim bagi saudaranya yang jauh adalah dipenuhi.Disisi kepalanya ada seorang malaikat yang diwakilkan.Setiap kali dia mendoakan suatu kebaikan bagi saudaranya,maka malaikat yang diwakilkan itu menjawab:"Amiin", dan bagimu seperti itu pula." (Ibnu Majah dan Ahmad).”
Nuha mengangkat kedua belah tanganya,
“Ya Rabbana, karuniakanlah kepadanya istri yang sholehah di mana janjimu kepada hamba-hamba Mu yang sholeh, Tuhanku Yang Maha membolak-balikan hati, cabutlah harapannya untuk menikahi hamba, biarlah cinta itu menjadi masa lalu kami, amin”
Guliran air bening mengalir di pipi Nuha yang memerah.
***

“apa? Membatalkan rencana kita?” Nuha mengangguk dalam
“tapi kenapa, beri aku satu alasan yang tepat”
“aku tidak mencintaimu lagi, dan aku tidak mau membohongi dirimu”
Iqbal terpana, bagaimana mungkin? Jawaban yang begitu menyakitkan itu keluar dari bibir wanita yang selama ini sebanding dengan bidadari impiannya.
“tapi…”
“jika aku tidak mencintaimu lagi, apa kamu masih berniat memaksaku?” potong Nuha “kita masih bisa menjadi bersahabat, bukankah dari dulu kita bersahabat” suara itu tertahan.
Iqbal terdiam, kembali menjadi sahabat bukanlah hal yang mudah, apalagi jika keyakinan dan cintanya telah tertambat dalam kepada gadis di hadapanya ini.
“aku tidak mengerti Nuha, ini bukan dirimu, kamu tau dalamnya luka yang tengah kau goreskan di hati ini”
“maaf Iqbal, aku tidak berminat membahasnya, aku lelah, izinkan aku pergi dari tempat ini sekarang, wassalamu’alaykum”
Langkah Nuha panjang, meninggalkan Iqbal termangu dalam ketidak percayaanya bahkan sekedar menyampaikan kewajiban membalas salam saja ia tak mampu.
***

Cinta itu
Mengalir di seluruh peredaran darahku
Apa aku buta oleh cinta?
Cinta yang berlebihan kepada indahnya ciptaan Nya
Cinta itu
Di teteskan oleh Nya
Oleh belas kasih Nya
Lalu di tempat yang mana aku harus menyalahkan?
Bukankah detak jantung ini telah memanggil namanya
***

Undangan walimatul ursy Iqbal dan mempelainya tersampir di tangan Nuha, ia menggenggamnya erat, dengan senyuman tulus meski di bibir yang sepucat pasi.
“Assalamu’alaykum”
“Wa’alaykumussalam suster,” Nuha menyambut perawat rumah sakit tempat ia menjalani pengobatan atas penyakit leukemia yang ia derita dengan senyuman manis.
“apa kau berniat datang ke pesta sahabatmu itu?”
Nuha menggeleng “hanya akan menyusahkan banyak orang, do’a di sini InsyaAllah lebih dari cukup”
“aku tidak pernah melihatnya datang menjengukmu”
“ia tidak tau”
“kenapa?”
“tidak apa, hanya tidak ingin mengganggu kesibukanya”
***

“Aku pernah berjanji memberinya bunga mawar setiap minggu, ia sangat menyukainya” Iqbal menatap gundukan merah tempat Nuha bersemayam dengan tetesan pilu.
“ia akan lebih senang jika mawar-mawar itu menjadi sebuah do’a yang berbunga dan kau sampaikan pada Nya selepas sholatmu” perempuan berjilbab putih menyentuh bahu suaminya.
“sekian lama aku menganggapnya penjahat” Iqbal makin menyembunyikan isakan tangisnya.
“dia memaafkanmu, bukankah dia seorang bidadari? Dan bukan salahmu menganggapnya penjahat, ini hanya kesalah pahaman yang jauh dari jangkauanmu untuk engkau pecahkan, di telah sampai di muaranya, di mana semua orang akan mencapainya, bersabarlah karena kita akan menemuinya dan melihatnya bahagia , InsyaAllah” Iqbal diam, ia takjub terhadap kalimat –kalimat yang meluncur dari bibir wanita yang baru seminggu lalu ia nikahi.
Langkah mereka meninggalkan pusara Nuha
“bolehkan aku memberinya bunga mawar sepanjang aku mampu?” Iqbal sedikit menyesali pertanyaan bodoh yang ia lontarkan pada belahan jiwanya.
Senyuman mengembang “tentu saja” jawabnya riang sambil mengapit lengan suaminya.
“engkau tidak cemburu?”
Terdengar tawa kecil “ tentu saja, taukan engkau di antara istri-istri yang lain Aisyah ra sangat cemburu terhadap Khodizah yang telah meninggal sangat lama lebih besar? ”
“maafkan aku”
“kebahagiaanku ini ku dapat , karena Nuha meninggalkanmu kala itu, aku tau ketulusan hatimu suamiku, mungkin saja bukan? engkau menikahi Nuha meski engkau tau dia sakit, dia wanita yang istimewa, dan aku telah belajar darinya meski belum pernah menemuinya, mawar itu bukan hanya ia sukai, tapi telah ia hidupkan di hatinya, aku mencium harumnya mawar itu”
Iqbal tersenyum memandang wajah istrinya, langkah mereka makin jauh, dan akhirnya menghilang ditelan hiruk pikuknya kota.

Nuha yang teristimewa
Namamu masih hidup di antara genangan cinta di hatiku
Dengan mawar kesukaanmu

Batam, 2 Maret 2009
“Penulis menulis tanpa arah”
Tiny

No comments:

Post a Comment