Assalamu'alaykum, selamat datang di blog sederhana saya, selamat membaca! silahkan berkomentar & tinggalkan link anda untuk di kunjungi, terima kasih

Sunday, 25 April 2010

Pendekar Berjilbab Putih Part 2

Episode lalu: Yasa di bawa kabur oleh sekelebat bayangan saat hendak menyerang Meyda yang tidak sempat mengetahui siapa gerangan yang ia taksir memiliki ilmu meringankan tubuh mengagumkan itu.

“Aisyah RadhiAllahuanha, adalah ummul mukminin yang dekat dengan ilmu, kepiawaiannya dalam menafsirkan Al Qur’an dan meriwayatkan hadist Rosulullah Shalallahualaihi wasalam, tak pernah diragukan oleh para sahabat dan khalifah” Meyda menghentikan kalimatnya, ia tatap wajah antusias para murid kecilnya dengan senyum.

Seorang gadis kecil mengangkat tangan “Apa Aisyah cantik seperti Ibunda guru?”

Meydia tersipu, dengan senyum ia menganggukan kepala “Aisyah adalah istri kecintaan Rosulullah, ia sangat cantik, lebih cantik daripada ibunda guru sayang…”

“Apa Aisyah bisa berperang Ibunda guru?”

“Tidak, tapi Aisyah dengan ilmu yang ia miliki telah mengobarkan semangat kaum mujahid untuk berperang ”

“Karena itu kita harus belajar ibunda guru?”

“Tentu saja, bagus sekali, kalian pintar dan sudah paham” Meyda tersenyum puas .

Para murid kecilnya tertawa senang, dan mulai mengemasi peralatan belajar tanpa diminta setelah mata pelajaran usai, dan setelah membaca do’a penutup, mereka berlarian untuk berebut mencium tangan Meyda.

Sebuah tawa keras mengagetkan mereka, membuat para murid kecilnya beringsut mengkerut di balik tubuh Meyda yang segera berdiri tegap , waspada.

Segerombolan manusia berjumlah tujuh orang yang berpakaian serabutan mendekat, dilihat dari penampilannya mereka adalah penjahat dan ini dibenarkan oleh seorang gadis kecil yang membisikan kalimat pelan kearah telinga Meyda yang segera membungkukkan badan “mereka itu yang suka memukuli para penjual di pasar ibunda guru” Meyda mengangguk paham.

“Apa kepentingan kisanak semua datang ke tempat kami ini dengan mengindahkan etika bertamu dengan baik” Meyda membuka suara

“Hahaha, tidak usah berbelit-belit gadis cantik, siapa yang mengijinkanmu mengajar anak-anak dusun ini tanpa sepengetahuan kami hah!”

“Siapa kalian dan apa urusan kalian”

“Hahahahaha” suara tawa membahana memenuhi ruang tak begitu besar, berdiding papan dan beratap rumbai itu.

“Kami adalah penjaga di dusun ini, siapapun orang baru yang membuat kegiatan di sini harus membayar pajak kepada kami”

“Pajak? Kepala dusun tidak pernah menyinggung tentang pajak”

Lagi-lagi terdengar suara ejekan dengan kerasnya tawa, murid-murid Meyda ketakutan saling merapat satu dengan lainnya. Meyda harus cepat membuat keputusan

“Saya tidak akan membayar pajak” ujarnya

“Hahahahaha, jangan nekad gadis cantik, wajah cantikmu itu akan berubah menjadi monster kalau kau melawan”

“SAYA TUNGGU KALIAN DI BUKIT REJOSARI UNTUK MENYELESAIKAN INI” tulisnya di atas sebuah kertas, menghindari anak-anak kecil mendengarnya.

“Dengar, jika kalian merasa malu mengeroyoku di depan anak kecil, turuti ini”para penjahat itu langsung berembuk. Sesorang membisikan sesuatu kepada pemimpinnya yang di sambut tawa sumringah, ada cahaya mesum yang terpancar dari pandangan matanya.

Meydia bisa menangkap itu, “lelaki biadap” bisik hatinya, ia biarkan mereka pergi dengan tawa mereka. Dan setelah mereka menjauh Meyda segera menenangkan para murid kecilnya , menghapus air mata gadis kecil yang sempat menangis .

“Dengar Andini sayang, tidak ada yang perlu di takutkan dari manusia seperti mereka, wanita harus kuat seperti Khansa”

“Siapa Khansa ibunda guru”

“Besok ibunda guru ceritakan” Andini mengangguk dan mengusap air matanya

“Baiklah , ibunda guru antar kalian pulang” dan dalam sekejab suasana sepi menyergap ruangan itu.
***

Yasa mengerjapkan matanya, ia baru tersadar setelah semalaman tertidur, pandangannya menyusuri ruangan tempat ia tergeletak, ia baru ingat semalam gurunya yang membawanya dirumah tempat ia menghabiskan masa kecilnya hingga ia tumbuh dewasa ini, dipojok, didekat jendela sana tersedia singkong rebus dan kopi yang masih mengepulkan asap tanda baru saja di hidangkan, tapi ia masih tak menemukan sang guru.

Segera ia mengangkat tubuhnya untuk beranjak, rasa sakit di perutnya sudah benar-benar sirna, ia ingat kekalahannya atas Meydia , “memalukan” bisik hatinya. Dan matanya telah menangkap sosok sang guru yang tengah duduk bersila di atas batu dengan tangan menangkup di dada layaknya semedi kala ia telah berdiri di pintu. Deburan ombak laut tempat gurunya menghadap seringkali di tingkahi oleh semilir angin memecah kesenyuian namun tetap menciptakan suasana tenang.

“Kau sudah bangun” ujar sang guru masih memejamkan mata saat ia mendekat. Ia tau gurunya punya indra keenam yang bisa merasakan kehadiran orang lain tanpa harus melihat langsung.

“Iya guru, terimakasih sudah menyembuhkan rasa sakit ini, tapi kenapa guru membawa saya kabur dari sana? Bukankah itu sangat memalukan” guru tersenyum sinis, masih dengan mata tertutup

“Seorang pendekar juga tidak boleh mati konyol bukan, kau masih memiliki banyak tugas yang harus di selesaikan”

“Tapi guru, pendekar wanita itu…”

“Kau hanya butuh berlatih lebih keras lagi, jangan malas!!! Seorang pemalas hanya akan mendapati ilmunya setengah-setengah, paham?”

“Baik guru, tapi … apa benar para warga dusun itu tidak sepenuhnya bersalah guru?”

“Jangan percayai musuh, kau bisa melihat sendiri kejahatan mereka dulu, apa kau percaya begitu saja?

Kita akan membuat taktik melawan pendekar wanita itu, dia membahayakan misimu”
Yasa terpekur, kesedihannya mengingat tragedi belasan tahun lalu menerbitkan dendam membara dihatinya.
***

bersambung...

No comments:

Post a Comment