Assalamu'alaykum, selamat datang di blog sederhana saya, selamat membaca! silahkan berkomentar & tinggalkan link anda untuk di kunjungi, terima kasih

Monday, 3 May 2010

Rinai Hujan Di Langit Batam

By. Tini 

Hujan deras mengguyur kota menjelang petang kala itu, di bilangan kawasan industri sekupang Batam, laki-laki sangat muda itu tinggal. Tampak ia tengah berlari menembus air langit yang turun lebih lebat, memang pantang bagi seorang laki-laki menangis karena kecengengannya, tapi kini ia tak perduli, ia hanya ingin menangis untuk meluahkan sejuta gundah yang tengah ia rasakan, menumpahkan kesedihan seumpama anak termalang dari sekian anak-anak seusianya. Toh ketika tetesan air mata membasahi pipinya akan terlampau susah untuk dibedakan apakah itu air mata ataukah air hujan.

Apa sebab hatinya begitu berduka adalah ketika mimpinya tak jua menjadi nyata, rasanya mandeg satu tahun untuk meneruskan SMA adalah sudah cukup. Tapi tidak demikian faktanya, kesadaran barunya muncul bahwa kemiskinan orang tuanya adalah alasan utama kenapa ia masih harus merasakan pahitnya mengorbankan mimpi dan masa depannya.
***


Rumah tempat ia dan kedua orang tuanya bernaung di bangun di atas tanah yang memang bukan milik mereka, hidup di pinggiran lembah dan dengan di suguhi bentangan air laut di belakang rumah tempat mereka membuang berbagai macam limbah dan sampah. Taukah apa gambaran yang pas untuk keadaan mereka selain keadaan yang berkekurangan. Ia masih memiliki tiga orang adik, yang dua diantaranya harus tinggal di kampung halaman neneknya karena biaya sekolah di sana lebih terjangkau.

Dani, begitu ia biasa di panggil. Entah sejak kapan menyukai hujan. Apakah sejak ia bisa menangis tanpa takut disebut cengeng, atau sejak ia ingin marah namun tak kuasa? Kerap ia sendiri tak mampu menjawabnya. Usianya baru menginjak enam belas tahun dan sejak setahun yang lalu ia telah menjadi alumni sebuah Sekolah Menengah Pertama Negri dengan hasil yang baik. Namun hingga kini, orang tuanya belum mampu membantunya menggenapi biaya untuk mengecap manisnya bangku Sekolah Menengah Atas.
***
Dani baru saja menyelesaikan pekerjaan barunya, membantu sebuah usaha yang bergerak di bidang katering, yang juga menggaji ibunya, Dani tidak berbeda remaja kebanyakan, tapi ia lebih menjadi anak penurut dan ramah, keinginannya untuk meneruskan sekolah begitu kuat, hingga ia bersedia menerima saran orang tuanya untuk bekerja dahulu sebelum melanjutkan sekolah. Meski dari lubuk hatinya Dani iri pada anak-anak seusianya yang tidak perlu memikirkan kebutuhan sekolah, tugas mereka satu yaitu belajar. Mungkin kelak mereka akan menjadi orang-orang penting di negri ini atau akan menjadi manusia-manusia yang mampu merubah peradaban.

Kegiatan Dani lainnya adalah menjadi muadzin di Mushola Subulussalam yang tak jauh dari rumahnya, meski dengan pemahaman agama yang pas-pasan. Dani bisa mengeja huruf Al Qur'an. Dani juga punya sahabat-sahabat yang sering ia ajak nongkrong di depan rumah genjrang-genjreng dengan gitar jadul mereka, menyanyikan lagu terkini dan sedang hit, sekadar pengusir lelah dan resah.

***

Genap setahun sudah Dani bekerja, meski serabutan dan tidak jelas gaji nya, tapi Dani masih sangat berharap itu bisa menjadi modal sekolahnya. Ah.. semangatnya masih sama, keinginan itu juga masih sangat sama. Dengan langkah hati-hati Dani mendekati sang ayah mencoba meluluhkan hati beliau dengan keinginannya.

"Ayah, tahun ini Dani sekolah ya, umur Dani sudah enam belas tahun " ujarnya sambil memainkan ujung sarung sebagai selimut tidurnya.

Sesaat hanya helaan nafas sang ayah yang terdengar. Menambah jantung Dani berdebar-debar, baginya ini keputusan akhir. karena jika tidak sekarang kelak usianya sudah tujuh belas tahun dan sangat tipis harapannya bisa terwujud.

"Tidak ada biaya" Begitu akhirnya jawaban singkat dari sang ayah. Dani tidak berkomentar lebih, ia memejamkan mata, menahan sesak di dadanya, dia benar-benar ingin menangis tapi cuaca sedang tak bersahabat dengan air matanya, kekuatan hatinya mencoba menahan ledakan pilu yang begitu membuatnya sedih.

Dan dua tahun itu berlalu, kini Ia harus menuruti kemauan orang tuanya, bekerja dan bekerja, karena memang tak ada pilihan lain , sebuah galangan kapal yang berlokasi di Tanjung Uncang , bersedia menerimanya menjadi karyawan, menggajinya setiap bulan, usianya telah menginjak 17 tahun dan baginya kini semua impiannya sudah berlalu.
***

Belum genap empat bulan ketika kecelakaan kerja itu merenggut nyawanya, usianya dengan wajah yang bagi semua orang teramat muda tidak menghalangi maut menjemputnya. Dani menghembuskan nafas terakhirnya dengan menahan rasa sakit di kepalanya ketika ia terjatuh dari ketinggian pada saat menyelesaikan pekerjaannya, Rinai hujan di langit batam dan tangisan mengiringi kepergianya, menyesali kenapa begitu cepat ia pergi, berandai-andai ini dan itu.

Tiada hidup yang abadi, Ia yang datang, akan pergi. Seorang penguasa, pengemis atau pertapa - setiap orang yang lahir pasti mati. Menghembuskan nafas terakhir di atas tahta, atau diseret ke dalam kubur dengan kaki dan tangan terikat, apa bedanya?
***

Selamat Hari Pendidikan

Cerpen lama setelah diedit, untuk almarhum sahabat atau adik, semoga Allah menerima amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu, amin.

No comments:

Post a Comment